Pembahasan sejarah Wali
Songo mulai dari asal-usul Wali Songo
dalam perjuangan dawah Islam di Nusantara hingga kontroversi sejarah terkait asal usul Wali Songo, penting
untuk kita tahu. Siapa saja nama-nama Walisongo atau Sunan yang sebenarnya
berdasarkan data dan sumber sejarah yang dapat dipercaya. Ternyata, ada kontroversi
terkait asal usul Walisongo di Indonesia yang dikisahkan berasal dari China.
Benarkah? Mari kita telusuri lebih dalam tentang Wali Songo di sini.
Nama-nama Walisongo atau Sunan yang biasa kita kenal dalam keseharian
kita merupakan nama sebutan atau julukan. Nama Wali sendiri memiliki arti
utusan atau wakil yang dalam Islam dikenal dengan kata waliyullah atau waliallah.
Yang memiliki rarti beriman, pelindung, bertakwa dan dapat dipercaya. Sedangkan
Songo yang berarti sembilan dalam bahasa Jawa.
Para wali-wali ini
mengabdikan dirinya di jalan Allah SWT untuk mengajak orang lain beriman kepada
Allah. Nama-nama para Walisongo tersebut tercantumkan dalam sejarah persebaraan
agama Islam di Nusantara. Berikut Nama-nama Sunan dalam sejarah Walisongo
beserta peninggalan dan Sejarahnya.
Menurut buku Haul Sunan
Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan, Majelis dakwah yang secara
umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para
Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain
mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan,
maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat,
maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:
Angkatan ke-1 (1404 –
1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq,
Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik
Isra’il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana
Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh
Muhammad Al-Baqir.
Angkatan ke-2 (1435 –
1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik
Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana
Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik
Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali
Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana ‘Aliyuddin (wafat 1462), dan
Syekh Subakir (wafat 1463).
Angkatan ke-3 (1463 –
1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan
Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad
Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang
tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462
menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463
menggantikan Syaikh Subakir.
Angkatan ke-4 (1466 –
1513 M), terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden
Fattah yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah
Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga
(wafat 1513).
Angkatan ke-5 (1513 –
1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel
(wafat 1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak
iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan),
Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan
Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya
Sunan Kalijaga.
Angkatan ke-6 (1533 –
1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517
menggantikan ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang
tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana
yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat
1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus,
Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525
menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan
ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).
Angkatan ke-7 (1546- 1591
M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570
menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546
menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati
yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan,
Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati,
Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang
tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan
Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak
ibunya yaitu Sunan Muria.
Angkatan ke-8 (1592- 1650
M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan
Sedayu (wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan
gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549
menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana
Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan
Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650
menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).
Mari kita telusuri lebih dalam tentang Wali Songo ini
Nama-nama Sunan Walisongo
berikut ini adalah daftar nama-nama sunan walisongo beserta asal daerahnya:
Maulana Malik Ibrahim, sunan walisongo yang paling lebih dahulu ada. Beliau
dikabarkan berasal dari Persia dan kemudian menetap dan berkedudukan di Gresik,
jawa Timur.
Sunan Ampel (Ngampel),
sunan walisongo yang memiliki nama asli Raden Rahmat dan berkedudukan di
Ngampel, dekat Surabaya. Sunan Bonang, sunan walisongo yang semula bernama
Makdum Ibrahim ini adalah anak kandung dari Sunan Ampel. Ia berkedudukan di
Bonang, dekat Tuban.
Sunan Drajat, sunan
walisongo yang awalnya bernama Masih Munat ini adalah adik dari Sunan Bonang.
Ia berkedudukan di Drajat, dekat Sedayu, Surabaya. Sunan Giri, sunan yang
semula bernama Raden Paku ini adalah asli murid dari Sunan Ampel. Ia
berkedudukan di bukit Giri, dekat Gresik. Sunan Muria, sunan yang berkedudukan
di sungai Muria, Kudus. Sunan Kudus, sunan yang semula bernama Udung ini
berkedudukan di Kudus.
Sunan Kalijaga, sunan
yang bernama asli Joko Said ini berkedudukan di Kadilangu, Demak. Sunan Gunung
Jati, atau yang bernama asli Syarif Hidayatullah merupakan satu-satunya anggota
wali songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Ia lahir sekitar tahun
1450 M dan wafat pada usia 120 tahun atau sekitar tahun 1520
Kalau kita cermati lebih dalam
maka Sejarah masuknya Islam di Indonesia sungguh penuh dengan carut-marut
karena sejak dahulu bangsa Indonesia memang lemah dalam sistem dokumentasi.
Akibatnya, sejarah Indonesia sebelum datangnya bangsa Belanda selalu ada
beberapa versi karena selalu ada distorsi dari pelaku sejarah maupun dari
masyarakat yang meneruskan cerita tersebut kepada generasi berikutnya.
Sungguh suatu hal sangat
memprihatinkan, bahwa sejarah lahirnya Islam di Jazirah Arabia yang terjadi
pada abad ke-7 Masehi dan lahirnya Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam [581
M], wafat [632 M] dan penggantinya Abu Bakar [632-634 M], Umar Bin Khotob [634-644
M], Usman Bin Affan [644-656 M], Ali Bin Abi Thalib [656-661 M] serta
perkembangan Islam selanjutnya dapat terdokumentasi secara jelas. Namun sejarah
masuknya Islam di Indonesia yang terjadi 7 abad setelahnya, justru tidak
terdokumentasi secara pasti. Barangkali karena alasan itulah maka sejarah
tentang walisongo juga penuh dengan carut-marut.
Kisah-kisah individu
walisongo penuh dengan nuansa mistik, bahkan tidak hanya nuansa mistik yang
menyelimuti kisah walisongo tetapi juga penuh dengan berita-berita bohong.
Mistik dan bohong adalah dua hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi
mengapa keduanya justru menjadi warna utama kisah para wali yang telah berjasa
besar dalam menyebarkan ajaran Islam di Indonesia?
Sebagai umat Islam tentu
saja kita harus mengembangkan metode berpikir dialektis untuk mengambil hikmah
yang sesungguhnya dan meluruskan sejarah yang sebenarnya berdasarkan sumber
yang benar.
Berikut adalah
dokumen-dokumen yang dipastikan kebenarannya sehubungan dengan kisah-kisah Walisongo;
“Het book van Bonang”,
buku ini ada di perpustakaan Leiden-Belanda, yang menjadi salah satu dokumen
langka dari Zaman Walisongo. Kalau tidak dibawa Belanda, mungkin dokumen yang
amat penting itu sudah lenyap. Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15
yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam. (Baca: Diskusi Para Wali Songo Dalam
Buku ‘Het Book Van Bonang’ )
“Suluk Linglung”, buku
karya Sunan Kalijogo. Buku ini berbeda dengan buku ‘Suluk Linglung’ karya Imam
Anom yang banyak beredar.
“Kropak Farara”, buku
yang amat penting tentang walisongo ini diterjemahkan oleh Prof. Dr. GJW Drewes
ke dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan oleh Wahyudi ke dalam bahasa
Indonesia. (Baca: Wejangan Agama Dari Era Sekitar Wali Jawa)
“Kitab Walisana”, kitab
yang disusun oleh Sunan Giri ini berisi tentang ajaran Islam dan beberapa
peristiwa penting dalam perkembangan masuknya agama Islam di tanah Jawa.
Kita masih banyak
menemukan Istilah walisongo memang masih kontroversial dan tidak ada dokumen
yang dapat dijadikan rujukan untuk menentukan mana yang benar. Istilah
walisongo adalah nama sebuah dewan yang beranggotakan 9 orang [A. Wahyudi dan
Abu Khalid; Widji Saksono,1995].
Jika kita cermati dari
berbagai data dan sumber sejarah bahwa anggota walisongo merupakan orang-orang
pilihan dan oleh karena itu oleh orang jawa dinamakan wali. Istilah wali berasal
dari bahasa Arab aulia, yang artinya orang yang dekat dengan Allah SWT karena
ketakwaannya. Sedangkan istilah songo merujuk kepada penyebaran agama Islam ke
segala penjuru. Orang Jawa mengenal istilah kiblat papat limo pancer untuk
menggambarkan segala penjuru, yaitu utara-timur-selatan-barat disebut kiblat
papat dan empat arah diantaranya ditambah pusat disebut limo pancer.
Kemudian jikalau kita
lihat dalam kitab Kanzul Ulum karya Ibnu
Bathuthah yang masih tersimpan di perpustakaan istana Kasultanan Ottoman di
Istanbul, pembentukan Walisongo ternyata pertama kali dilakukan oleh Sultan
Turki, Muhammad I yang menerima
laporan dari para saudagar Gujarat {India} bahwa di pulau Jawa jumlah pemeluk
agama Islam masih sangat sedikit. Berdasarkan laporan tersebut Sultan Muhammad I membentuk sebuah tim yang
beranggotakan 9 orang, yaitu:
1. Maulana Malik Ibrahim,
berasal dari Turki, ahli irigasi dan tata pemerintahan;
2. Maulana Ishaq, berasal
dari Samarkan ahli pengobatan;
3. Maulana Ahmad Jumadil
Kubro, berasal dari Mesir;
4. Maulan Muhammad Al
Maghrobi, berasal dari Maroko;
5. Maulana Malik Isro’il,
berasal dari Turki, ahli tata pemerintahan;
6. Maulana Muhammad Ali
Akbar, berasal dari Iran, ahli pengobatan;
7. Maulana Hasanuddin,
dari Palestina;
8. Maulana Aliyuddin,
dari Palestina;
9. Syeikh Subakir, dari
Iran, ahli kemasyarakatan;
Data di atas merupakan
nama-nama walisongo angkatan pertama yang datang ke pulau Jawa pada saat yang
tepat, karena Majapahit sendiri pada saat itu sedang dilanda perang saudara,
yaitu perang Paregreg, sehingga kedatangan mereka tidak begitu mendapat
perhatian. Perlu diketahui bahwa tim pertama tersebut bukanlah para ahli agama
atau bisa dikatakan bahwa mereka belum mempunyai ilmu agama yang mumpuni.
Sultan Muhammad I tidak pernah menyebut tim tersebut dengan nama walisongo.
Barangkali istilah walisongo berasal dari masyarakat atau dari tim itu sendiri
setelah bekerja beberapa puluh tahun. Adapula kemungkinan bahwa istilah
walisongo muncul setelah wali pribumi dari kalangan bangsawan yang masuk ke
dalam tim.
Karena Maulana Malik
Ibrahim sebagai ketua walisongo wafat pada tahun 1419 M, maka pada tahun 1421 M
dikirim seorang penyebar Islam baru yang bernama Ahmad Ali Rahmatullah dari
Champa yang juga keponakan Maulana Ishak. Beliau adalah anak Ibrahim
Asmarakandi yang menjadi menantu Sultan Campha. Pemilihan Ahmad Ali Rahmatullah
yang nantinya sering dipanggil Raden Rahmat adalah keputusan yang sangat tepat,
karena Raden Rahmat dianggap mempunyai kelebihan [ilmu agama yang lebih dalam]
dan putra Mahkota kerajaan Majapahit pada saat itu menikah dengan bibi Raden
Rahmat. Oleh karena itu dengan Raden Rahmat menjadi ketua, walisongo berharap
agar Prabu Kerta Wijaya dapat masuk Islam, atau setidak-tidaknya tidak
menghalangi penyebarah Islam. Dialog antara Raden Rahmat yang mengajak Prabu
Kerta Wijaya masuk Islam tertulis dalam Kitab Walisana dengan langgam Sinom
pupuh IV bait 9-11 dan bait 12-14.
Karena masih kerabat
istana, maka Raden Rahmat diberi daerah Ampeldento oleh Raja Majapahit yang
kemudian dijadikan markas untuk mendirikan pesantren. Selanjutnya Raden Rahmat
dikenal dengan nama Sunan Ampel. Menurut
Widji Saksono [1995:23-24], kedatangan Raden Rahmat di pulau Jawa disertai dua
pemuda bangsawan Champha yaitu Raden Santri
Ali dan Alim Abu Hurairah serta
40 orang pengawal. Selanjutnya Raden Santri Ali dan Alim Abu Hurairah bermukim
di Gresik dan dikenal dengan Sunan Gresik dan Sunan Majagung. Dengan kedatangan
Raden Rahmat, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut
angkatan kedua.
Pada tahun 1435 ada dua
orang wali yang wafat, yaitu Maulana Malik Isro`il dan Maulana Muhammad Ali
Akbar. Dengan meninggalnya dua orang itu, dewan mengajukan permohonan kepada
Sultan Turki [tahun 1421 Sultan Muhammad I digantikan oleh sultan Murad II,
yang memimpin sampai tahun 1451 {Barraclough, 1982:48}] untuk dikirimkan dua
orang pengganti yang mempunyai kemampuan agama yang lebih mendalam. Permohonan
tersebut dikabulkan dan pada tahun 1436 dikirim dua orang juru dakwah, yaitu :
1.
Sayyid Ja`Far Shodiq, berasal dari
Palestina, yang selanjutnya bermukin di Kudus dan dikenal dengan nama Sunan Kudus. Dalam buku Babad Demak
karya Atmodarminto {2001, disebutkan bahwa Sayyid Ja`far Shodiq adalah
satu-satunya anggota walisongo yang paling menguasai Ilmu Fiqih.
2. Syarif
Hidayatullah, berasal dari Palestina yang merupakan ahli strategi perang.
Menurut buku Babad Tanah Sunda Babad Cirebon karya PS Sulendraningrat {tanpa
tahun}, Syarif Hidayatullah adalah cucu Prabu Siliwangi dari Pajajaran hasil
perkawinan Rara Santang dan Sultan Syarif Abdullah dari Mesir. Selanjutnya
Syarif Hidayatullah bermukim di Cirebon dan dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Dengan kedatangan wali
muda tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut
angkatan ketiga. Nampak dari informasi di atas bahwa ada tiga wali muda yang
tentu mempunyai kedalaman ilmu agama yang lebih dibandingkan dengan angkatan
sebelumnya.
Pada tahun 1462 dua orang
anggota walisongo wafat, yaitu Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin.
Sebelum itu ada dua orang anggota wali yang meninggalkan tanah Jawa, yaitu
Syekh Subakir pulang ke Persia dan Maulana Ishak berdakwah di Pasai. (Baca:
Islam Dan Kristen Dalam Jangka Jayabaya Syekh Bakir)
Dalam sidang walisongo di
Ampeldento, diputuskan bahwa ada empat orang yang masuk dalam dewan walisongo,
yaitu:
1.
Raden Makhdum
Ibrahim, putra Sunan Ampel yang bermukim di desa Mbonang, Tuban.
Selanjutnya dikenal dengan nama Sunan
Mbonang. (Baca : Tafsir Sunan Bonang, Bukti Karya Intelektual Walisongo)
2.
Raden Qosim,
putra Sunan Ampel yang bermukim di lamongan dan dikenal dengan nama Sunan Drajat.
3.
Raden Paku,
putra Maulana Ishaq yang bermukim di
Gresik dan selanjutnya dikenal dengan nama Sunan
Giri.
4.
Raden Mas Said, putra Adipati Tuban yang bermukim di Kadilangu, Demak.
Selanjutnya dikenal dengan nama Sunan
Kalijogo.
Dengan perubahan
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut
angkatan keempat. Dalam dewan walisongo angkatan keempat ini masih ada dua
orang yang bersal dari angkatan pertama, sehingga pada tahun 1463 mereka sudah
bertugas di tanah Jawa selama 59 tahun. Dua orang itu adalah Maulana Ahmad
Jumadil Qubro yang meninggal pada tahun 1465 dan Maulana Muhammad Al Maghrobi
[tidak diketahui tahun berapa wafatnya]. Dalam kitab walisana disebutkan bahwa
pada saat Raden Fatah menghadapi Syekh Siti Jenar, Maulana Muhammad Al Maghrobi masih merupakan tokoh sentral,
kuat dugaan bahwa beliau yang mengambil keputusan tentang masalah Syekh Siti
Jenar.
Perlu diperhatikan bahwa
mulai angkatan keempat ini banyak anggota walisongo yang merupakan putra
bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu, orientasi ajaran Islam mulai berubah
dari Arab Sentris menjadi Islam Kompromistis. Pada saat itulah tubuh walisongo
mulai terbelah antara kelompok futi`a dan aba`ah, barangkali pada saat itu pula
muncul istilah Walisongo. Isi kitab walisana yang ditulis oleh Sunan Giri II
pun yang ditulis pada awal abad 16 banyak berbeda dengan buku-buku sunan
Mbonang yang masih menjelaskan ajaran Islam yang murni.
Dengan meninggalnya dua
orang wali yang paling tua itu, maka pada tahun 1466 diadakan sidang yang
memutuskan memasukkan anggota baru dan mengganti ketua dewan yang sudah berusia
lanjut. Ketua dewan yang dipih dalam siding tersebut adalah Sunan GIRI,
sedangkan anggota dewan yang masuk adalah :
Raden Fatah, putra Raja Majapahit Brawijaya V yang merupakan Adipati
Demak.
Fathullah
Khan, putra Sunan Gunung Jati yang dimaksudkan untuk
membantu tugas ayahandanya yang sudah berusia lanjut.
Dengan perubahan
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa susunan dewan wali dapat kita sebut
angkatan kelima.
Setelah Raden Fatah
dinobatkan menjadi Sultan Demak Bintara, maka pada tahun 1478, dilakukan
perombakan lagi dalam tubu dewan walisongo. Selain Raden Fatah, Sunan Gunung
Jati pun lengser karena usianya yang lanjut. Posisi Sunan Gunung Jati
digantikan oleh Fathullah Khan yang memang sudah ada dalam dewan walisongo. Dua
posisi yang kosong diisi oleh :
Raden Umar Said, putra Sunan Kalijogo yang lebih
dikenal sebagai Sunan Muria.
Sunan
Pandanaran, murid Sunan Kalijogo yang bermukim di Tembayat, juga
dikenal sebagai Sunan Tembayat.
Menurut kitab walisana
karya Sunan Giri II, status Sunan Muria dan Sunan Padanaran hanya sebagai wali
penerus atau wali nubuah atau wali nukbah. Kitab walisana juga tidak pernah
menyebut nama Fathullah Khan sebagai anggota walisongo. Barangkali hal itu
terjadi karena begitu diangkat menjadi anggota walisongo, Fathullah Khan
langsung disebut sebagai Sunan Gunung Jati seperti sebutan untuk ayahandanya.
Setelah masa walisongo
angkatan keenam, masih banyak orang yang pernah mendapat gelar sebagai wali,
namun kapan mereka itu diangkat dan menggantikan siapa, tidak ada bukti dan
keterangan yang dapat dijadikan patokan dan kebenarannyapun masih banyak
diragukan. Mereka itu misalnya Syekh Siti Jenar, Sunan Geseng, sunan Ngudung, Sunan Padusan,
Sunan Kalinyamat, Sunan Muryapodo, dan ada beberapa orang yang
juga dianggap sebagai wali misalnya Ki Ageng Selo dan Ki Ageng Pengging.
Ternyata ada kontroversi
terkait asal-usul Walisongo di Indonesia yang dikisahkan berasal dari Cina ini
awal mulanya adalah Profesor Slamet Mulyana yang menulis pernyataan tersebut
pada 1968 dalam bukunya, "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara".
Namun, dilarang beredar
karena dinilai dapat memicu perdebatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antaragama).
Menurut dia, Walisongo
dibentuk oleh Sunan Ampel pada tahun 1474. Mereka terdiri dari sembilan orang
wali; Sunan Ampel alias Bong Swie Ho, Sunan Drajat alias Bong Tak Keng, Sunan
Bonang alias Bong Tak Ang, Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang, Sunan Gunung Jati
alias Du Anbo-Toh A Bo, Sunan Kudus alias Zha Dexu-Ja Tik Su, Sunan Muria,
Maulana Malik Ibrahim alias Chen Yinghua/ Tan Eng Hoat, dan Sunan Giri yang
merupakan cucu dari Bong Swie Ho.
Diceritakan pula, Sunan
Ampel (Bong Swie Ho) alias Raden Rahmat lahir pada 1401 di Champa (Kamboja).
Saat itu, banyak sekali orang Tionghoa penganut agama Islam yang bermukim di
sana. Dia tiba di Jawa pada 1443. Lalu, 36 tahun kemudian, yakni pada 1479, dia
mendirikan Masjid Demak.
Sementara, kata Walisongo
yang selama ini diartikan sembilan (sanga/songo) wali, dinilai masih memberikan
celah untuk versi penafsiran lain.
Ada yang berpendapat
bahwa kata "sanga" (dilafalkan sebagai "songo" dalam Bahasa
Jawa) berasal dari kata "tsana" dari bahasa Arab, yang berarti
"mulia". Pendapat lainnya menyatakan, kata "sanga" berasal
dari kata "sana" dalam bahasa Jawa yang berarti "tempat".
Dinyatakan pula, kata
Sunan yang menjadi panggilan para anggota Walisongo, dipercaya berasal dari
dialek Hokkian "Su" dan "Nan". "Su" merupakan
kependekan dari kata "Suhu atau Saihu" yang berarti guru.
Disebut guru, karena para
wali itu adalah guru-guru Pesantren Hanafiyah, dari mazhab Hanafi. Sedangkan,
"Nan" berarti "selatan", sebab para penganut aliran Hanafiah
ini berasal dari Tiongkok Selatan.
Belanda, yang sempat
"berperang" dengan para wali itu sempat tidak mempercayai bahwa
sultan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa. Kemudian, untuk
memastikannya, pada 1928, Residen Poortman ditugaskan oleh Pemerintah Belanda
untuk menyelidikinya.
Poortman lalu menggeledah
Kelenteng Sam Po Kong dan menyita naskah berbahasa Tionghoa. Dia menemukan
naskah kuno berusia ratusan tahun sebanyak tiga pedati.
Lalu, arsip Poortman ini
dikutip oleh Parlindungan, yang menulis buku, "Tuanku Rao", yang juga
kontroversial. Profesor Slamet Mulyana juga banyak menyitir dari buku ini.
Untuk kebenaran sejarah
ini kita serahkan kepada para ahli sejarah yang amanah dan jujur tidak untuk dipolitisi, demi pencerahan
ilmu pengetahuan generasi bangsa Indonesia pada khususnya dan Umat MUSLIM pada
umumnya serta mengisi sejarah peradaban Dunia yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Itu mungkin jawaban
sementara dari Abah Opar Supranatural Pedagogic untuk sahabatku yang mempertanyakan akan sejarah Wali
Songo. Sumber artikel, daftar pustaka terlampir.
"Adapun
referensi bacaan boleh juga kita baca update buku API SEJARAH 1 & 2 (Best Seller), Karya Prof. Ahmad Mansir Suryanegara di buku
tersebut, banyak penyelewengan sejarah yang dilakukan oleh sejarawan Belanda
terkait dakwah Islam di Nusantara."
1.
Sunan Gresik
Sunan Gresik merupakan
salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah walisongo
dasar perjuangan utama Sunan Gresik adalah menghilangkan sistem kasta yang
berada pada kalangan masyarakat. Karena bahwasannya semua manusia itu sama di
mata Allah SWT, yang membedakannya hanyalah amal ibadahnya saja.
Daerah Penyebaran Islam
Sunan Gresik: Gresik, Jawa Timur.
Peninggalan Sunan Gresik:
Masjid Malik Ibrahim di Leran, Gresik, Jawa Timur.
Tahun Wafatnya Sunan
Gresik: 1419 M
Makam Sunan Gresik: Desa
Gapura Wetan, Gresik.
Sejarah Sunan Gresik:
Menurut sejarah Walisongo beliau merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW ke 22.
Ia mulai dakwah penyebaran agama Islam pertamanya di pulau Jawa pada akhir masa
kerajaan Majapahit.
Makam Maulana Malik
Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan
ke-11 dari Husain bin Ali. Ia disebut juga Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau
terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di
Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14.
Babad Tanah Jawi versi
Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap
As-Samarqandy. Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim
umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat
kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan
Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda
krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama
di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di
desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Beliau merangkul dan
menolong rakyat jelata yang merupakan korban dari perang saudara akibat
runtuhnya kerajaan Majapahit. Sunan Gresik menarik hati masyarakat pada saat
itu dengan melakukan bercocok tanam dan berdagang.
Sehingga para masyarakat
yang kesulitan sedang dalam kesulitan ekonomi, terbantu dan mulai secara
perlahan ingin mempelajari agama Islam. Karena semakin banyaknya masyarakat yang
ingin belajar agama Islam.
Kemudian Sunan Gresik
mendirikan sebuah pondok pesantren di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur. Beliau
mengajarkan tentang ilmu agama Islam hingga akhir hayatnya.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel merupakan
salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah Walisongo
falsafah ajaran yang terkenal yang diajarkan dari Sunan Ampel pada saat itu
yaitu “Moh Limo“. Moh Limo sendiri memiliki arti Moh artinya tidak atau menolak,
dan Limo memiliki arti lima.
Jadi isi pada falsafah
ajaran tersebut mempunyai makna “Untuk menolak dan tidak melakukan lima hal.
Kelima hal itu yaitu Moh Main artinya Tidak Berjudi, Moh Ngombe artinya Tidak
Minum-minuman Alkohol, Moh Maling artinya Tidak Mencuri, Moh Madat artinya
Tidak Menghisap Narkoba, Moh Madon artinya Tidak Berzina.
Daerah Penyebaran Islam
Sunan Ampel: Surabaya.
Peninggalan Sunan Ampel:
Masjid Ampel di Ampel Denta, Surabaya.
Tahun Wafatnya Sunan
Ampel: 1481 M.
Makam Sunan Ampel: Di
Sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Sejarah Sunan Ampel:
Menurut sejarah Sunan Ampel yang bernama asli Raden Rahmat merupakan anak dari
pasangan Sunan Gresik dan Dewi Condro Wulan.
Sunan Ampel bernama asli
Raden Rahmat, keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, menurut riwayat adalah putra
Maulana Malik Ibrahim dan seorang putri Champa. Ia disebutkan masih berkerabat
dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja Majapahit.
Sunan Ampel umumnya
dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di
Ampel Denta, Surabaya, Disana Beliau mendirikan pondok pesantren untuk
masyarakat yang ingin belajar dan mendalami tentang agama Islam dan merupakan
salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Nyai
Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang dan Sunan
Kudus adalah anak-anaknya, sedangkan Sunan Drajat adalah cucunya. Makam Sunan
Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya
3. Sunan Bonang
Sunan Bonang merupakan
salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah Walisongo,
Sunan Bonang merupakan salah satu tokoh Walisongo yang dalam ajaran Sunan
Bonang ia menyampaikan “Jangan bertanya, Jangan memuja nabi dan wali-wali,
jangan mengaku Tuhan. jangan mengira tidak ada padahal ada, sebaiknya diam ,
jangan sampai di goncang kebingungan.
Daerah Penyebaran Islam Sunan
Bonang: Tuban, Jawa Timur.
Peninggalan Sunan Bonang:
Alat musik tradisional gamelan yang berisi bonang, bende dan kenong. Juga
perkenalkan gapura yang berarsitektur tema islam.
Tahun Wafatnya Sunan
Bonang: 1525 M.
Makam Sunan Bonang:
Tuban, Jawa Timur.
Sejarah Sunan Bonang:
Sunan Bonang yang bernama asli Maulana Makdum Ibrahim merupakan anak dari
pasangan Sunan Ampel dan Dewi Condrowati. Setelah ayahnya Sunan Ampel wafat
Sunan Bonang memutuskan untuk belajar agama di Malaka di wilayah Samudra Pasai.
Di sana Sunan Bonang
menimba ilmu dari Sunan Giri yang mempunyai ilmu khusus dalam metodologi
pengajaran agama Islam yang bisa menarik hati para masyarakat. Kemudian setelah
selesai menimba ilmu di sana Beliau kembali lagi ke Tuban.
Sesampainya di Tuban
Sunan Bonang mendirikan sebuah pondok pesantren di tanah kelahiran ibunya
tersebut. Karena karakteristik masyarakat Tuan yang senang akan hiburan.
Maka dari itu Sunan
Bonang pun mempunyai ide untuk membuat alat musik gamelan untuk menarik minat
masyarakat Tuban untuk belajar agama Islam. Sehingga di saat Sunan Bonang
mengadakan pertunjukan gamelan, di sela-selanya ia melakukan dakwah.
Sunan Bonang putra Sunan
Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan
Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan
Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar
memeluk agama Islam. Ia dikatakan
sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering
dinyanyikan orang.
Pembaharuannya pada
gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan
dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa
bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan
karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya.
4. Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra
Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra
Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan
kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai
pengamalan dari agama Islam.
Sunan Drajat merupakan
salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Di dalam sejarah Walisongo
ajaran yang disampaikan Sunan Drajat ia sering menyampaikan tentang “Suluk
Petuah” kepada murid-muridnya. Ada beberapa pesan-pesan yang terdapat di dalam
suluk petuah tersebut untuk di tanamkan ke dalam diri manusia.
Beberapa kutipan yang ada
di dalam suluk petuah tersebut adalah. Wenehono teken wong kang wuto artinya
berilah tongkat pada orang buta. Wenehono mangan marang wong kan luwe artinya
berilah makan kepada orang yang lapar.
Wenehono busono marang
wong kang wudo artinya berikanlah pakaian kepada orang yang telanjang. Wenehono
ngiyup marang wong kang kudanan artinya berilah tempat berteduh kepada orang
yang kehujanan.
Daerah Penyebaran Islam
Sunan Drajat: Desa Jelog, Pesisir Banjarwati, Lamongan.
Peninggalan Sunan Drajat:
Gamelan singa mangkok.
Tahun Wafatnya Sunan
Drajat: 1522 M.
Makam Sunan Drajat:
Paciran, Lamongan.
Sejarah Sunan Drajat:
Menurut sejarah Sunan Drajat merupakan saudara seibu dengan Sunan Bonang.
Setelah ayahnya meninggal, Beliau belajar dan berguru tentang ilmu agama Islam
dari Sunan Muria.
Kemudian Raden Qosim
kembali lagi ke Desa Jelog, Pesisir Banjarwati, Lamongan. Sesampainya Sunan
Drajat di Lamongan, Beliau mengajarkan apa yang telah di pelajarinya dari Sunan
Muria kepada para Masyarakat.
Karena semakin hari
muridnya semakin banyak, akhirnya Sunan Drajat memutuskan untuk mendirikan
sebuah pondok pesantren. Pondok pesantren tersebut terletak di daerah Daleman
Duwur, Desa Drajat, Paciran Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan
sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium
Daerah Sunan Drajat, Lamongan.
5. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga merupakan
salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah walisongo
Sunan Kalijaga merupakan salah satu walisongo yang menerapkan ajaran agama
Islam secara dengan bertahap, dengan menanamkan nilai agama di dalam budaya dan
ideologi masyarakat. Ia berkeyakinan, apabila agama Islam telah dipahami maka
kebiasaan buruk secara sendirinya akan hilang.
Daerah Penyebaran Islam
Sunan Kalijaga: Cirebon, Jawa Barat.
Peninggalan Sunan
Kalijaga: Seni ukir, wayang, gamelan dan suluk.
Tahun Wafatnya Sunan:
1513 M.
Makam Sunan Kalijaga:
Desa Kadilangu, Demak Bintara, Jawa Barat.
Sejarah Sunan Kalijaga:
Sunan Kalijaga merupakan orang pribumi asli pulau Jawa yang lahir di Tuban,
Jawa Timur. Sunan Kalijaga merupakan putra dari Arya Wilatikta yang merupakan
tokoh pemberontak pimpinan Ronggolawe di zaman kerajaan Majapahit.
Nama julukan Kalijaga
sendiri yang diberikan, menurut beberapa pendapat berasal dari nama sebuah
dusun di Cirebon. Dusun itu bernama Kalijaga, dahulu kala memang menurut cerita
sejarah Sunan Kalijaga memang sangat dekat dengan Sunan Gunung Jati.
Sunan Kalijaga adalah
putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Ia
adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan
sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang
suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai
hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan
Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
6. Sunan Kudus
Sunan Kudus merupakan
salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah Walisongo
Sunan Kudus merupakan salah satu dari Wali Songo yang mewariskan budaya
toleransi antara umat beragama. Salah satu yang ajarannya yaitu dengan
menyembelih kerbau saat hari raya Idul Adha, untuk menghormati para umat Hindu
di kudus.
Daerah Penyebaran Islam Sunan
Kudus: Kudus, jawa Tengah.
Peninggalan Sunan Kudus:
Masjid Menara Kudus.
Tahun Wafatnya Sunan
Kudus: 1550 M.
Makam Sunan Kudus: Kudus,
Jawa Tengah.
Sejarah Sunan Kudus: Sunan
Kudus merupakan cucu dari Sunan Ampel dan istrinya Dewi Condrowati dari anaknya
yang bernama Syarifah. Berarti beliau masih dalam saudarnya keponakan Sunan
Bonang dan Sunan Drajat. Nama julukan Sunan Kudus sebenarnya di ambil dari nama
tempatnya belajar di Al-Quds.
Semasa hidupnya Ia
belajar ilmu agama dari kedua pamannya tersebut dan juga pergi ke Al-Quds,,
Yarusssalem, Palestina. Disana beliau mendapat banyak ilmu agama dan ilmu
pengetahuan dari berbagai ulama-ulama Arab.
Setelah menimba ilmu disna
Beliau kembali ke Nusantara, dan sesampainya di Nusantara Beliau berinisiatif
untuk mendirikan pondok pesantren. Disana ia mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam
untuk berdakwah mengajak para masyarakat beriman dann bertakwa kepada Allah
SWT.
Sunan Kudus memiliki
ilmu-ilmu yang sangat luas hasil dari Ia menimba ilmu dari para ulama-uama di
Jawa dan Timur Tengah. Karena ilmunya yang luas itu akhirnya Sunan Kudus di
minta oleh para masyarakat untuk menjadi pemimpin daerah Kudus.
Akhirnya Beliau pun
menyanggupinya, karena menurutnya itu juga menjadi salah satu kesempatan untuk
menyebarkan dakwah agama Islam. Apalagi Beliau bisa berdakwah di kalangan para
pejabat, priyay dan para bangsawan kerajaan di Jawa.
Karena ilmu Sunan Kudus yang
luas itu, akhirnya Beliau mendapat gelar Wali Al-ilmi yang berarti orang yang
berilmu. Dalam melakukan dakwah Sunan Kudus juga memakai metode menyisipkan
ajaran agama Islam melalui budaya.
7. Sunan Muria
Sunan Muria merupakan
salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah Walisongo
Sunan Muria merupakan salah satu tokoh walisongo yang terkenal dalam
pengajarannya dalam berdakwah tentang agama Islama, ia menggunakan sebuah
tembang sinom dan kinanti. Sunan Muria juga mewariskan budaya kenduri yang
berarti mendoakan orang yang telah meninggal setelah dikubur.
Dalam kenduri itu ada
nelung dinani berarti tiga hari, mitung dinani berarti 7 hari, matangpuluhi
berarti 40 hari, nyatusberarti 100 hari, mendak pisan, mendak pindo, nyewu
berarti 1000 hari.
Daerah Penyebaran Islam
Sunan Muria: Kudus dan Pati.
Peninggalan Sunan Muria:
Masjid Muria.
Tahun Wafatnya Sunan
Muria: 1551 M.
Makam Sunan Muria: Kudus,
Jawa Tengah.
Sejarah Sunan Muria:
Sunan Muria merupakan anak dari Sunan Kalijaga dan Istrinya Saroh adik kandung
dari Sunan Giri. Sunan Muria dalam menyampaikan dakwahnya menggunakan metode
menyisipkan Islam melalui budaya dan dan kesenian masyarakat.
Beliau lebih suka dan
akrab kepada masyaraka jelata yang jumlahnya paling banyak dan mereka juga mau
menerima ilmu pengetahuan baru. Sunan Muria semasa hidupnya mengajarkan ilmu
agama, bertani, berkebun, berdagang dan melaut.
8. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati
merupakan salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam sejarah
Walisongo Sunan Gunung Jati salah satu tokoh Walisongo yang terkenal akan pesan
wasiatnya yaitu. “Sugih bli rerawat, mlarat bli gegulat”. Yang artinya menjadi
bukan untuk menjadi pribadi, menjadi miskin bukan menjadi beban orang lain.
Daerah Penyebaran Islam
Sunan Gunung Jati: Cirebon, Banten dan Demak.
Peninggalan Sunan Gunung
Jati: Masjid merah Panjunan, Kumangang Pintu dan Kereta untuk berdakwah.
Tahun Wafat Sunan Gunung
Jati: 1568 M.
Makam Sunan Gunung Jati:
Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Cirebon Jawa Barat.
Sejarah Sunan Gunung
Jati: Sunan Gunung Jati merupakan keturunan bangsawan dari Timur Tengah yang
bernama Sultan Syarif Abdullah Maulana. Ayah Sunan Gunung Jati merupakan
merupakan keturunan dari Bani Hasyim yang berasal dari Palestina yang menjadi
pembesar di Mesir.
Beliau berdakwah di daerah
sekitar daerah Cirebon di Jawa Barat. Sehingga Beliau pun membangun sebuah
pondok peantren untuk mengajarkan ilmu agama Islam kepada masyarakat.
Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh
Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui
Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati
mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya
kemudian menjadi Kesultanan Cirebon.
Anaknya yang bernama
Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama
Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan
Banten.
9. Sunan Giri
Sunan Giri merupakan
salah satu Sunan dari 9 nama-nama Sunan Walisongo. Dalam Sejarah Walisongo
Sunan Giri merupakan tokoh walisongo yang terkenal akan penyampaian dakwahnya
kepada masyarakat yang ceria. Dalam dakwahnya juga disisipkan dengan hiburan
lagu permainan seperti cublak-cublak suweng, jamuran dan lir ilir.
Daerah Penyebaran Islam
Sunan Giri: Gresik, Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Peninggalan Sunan Giri:
Tembang Pucung, Tembang Asmarandana, Masjid Giri, Giri Kedaton dan Telogo
Pegat.
Tahun Wafat Sunan Giri:
1506 M
Makam Sunan Giri: Cirebon,
Jawa Barat.
Sejarah Sunan Giri: Dalam
sejarah, Sunan Giri merupakan anak keturunan dari ulama Islam yang sedang
berdakwah di daerah Pasai, Malaka. Tetapi karena di saat itu terjadi konflik,
akhirnya ayah Sunan Giri tersebut menitipkan Sunan Giri kepada nelayan agar dibawa
ke Jawa.
Sunan Giri pun akhirnya
di titipkan kepada nelayan tersebut demi keamanannya. Di saat itu nelayan itu
membawa kapalnya melewati Samudra Hindia da menepi di Selat Bali. Sesampai di
sana Sunan Giri di angkat anak oleh Dewi Sekardadu yang merupakan putri
kerajaan Blambangan di Banyuwangi, Jawa Timur.
Di sana Sunan Giri di
besarkan dan dirawat, serta di sana Ia mendapatkan nama Raden Paku. Kemudian
Sunan Giri mulai tumbuh dewasa, dan Dewi Sekardadu pun menceritakan masa lalu
dan memberitahukan siapa orang tua sebenarnya.
Setelah itu Sunan Giri
berfikir dan memutuskan untuk kembali ke Pasai, Malaka untuk berguru tentang
agama kepada ayahnya. Tetapi sebelum kembalinya Sunan Giri ke Pasai, Beliau
menyempatkan diri untuk belajar agama Islam kepada Sunan Ampel.
Setelah selesai belajar
bersama Sunan Ampel ia pergi ke Pasai untuk belajar ilmu Agama kepada ayahnya.
Ketika ayahnya sudah meninggal, Beliau menggantikan ayahnya untuk berdakwah.
Setelah lama berada di Pasai, Malaka akhirnya Sunan Giri kembali ke Blambangan
untuk berdakwah.
Sunan Giri adalah putra
Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, merupakan
murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan
pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai
pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke
kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri
Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.
Demikian sekelumit
sejarah dari nama-nama Sunan Walisongo yang penulis himpun dari berbagai
sumber. Semoga bahasan tentang 9 Sunan
Walisongo ini menjadi knowledge yang bisa memberi kita hikmah dan hidayah sehingga berguna untuk kita
semua. Posted by: Opar Suparma, S.Pd. M.Si
Baca juga : Tafsir Materialistik Terhadap Supranatural serta bagaimana pendapat para Ulama terhadap hal tersebut yaitu adakah hubungan antara Tafsir Spiritual dari peristiwa Supranatural ? dan
Daftar Pustaka:
Hasanu Simon, 2004, Peranan Walisongo Dalam
Mengislamkan Tanah Jawa Dalam Misteri Syekh Siti Jenar, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta.
Sulendraningrat, 1984, Babad Tanah Sunda Babad
Cirebon.
Asnan Wahyudi dan Abu Khalid MA, tanpa tahun, Kisah Walisongo,
Karya Ilmi, Surabaya.
Widji Saksono, 1995, Mengislamkan Tanah Jawa:Telaah
atas Metode Dakwah Walisongo,Penerbit Mizan, Bandung.
Atmodarminto, R., 2000, Babad Demak;Dalam Tafsir
Sosial Politik Keislaman dan Kebangsaan, terjemahan Saudi Berlian, Millenium
Publisher, Jakarta. (© Banyu Mili 2009)
http://www.muslimdaily.net
Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa
tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad
ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan
Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh
al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul
Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil
keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan
kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi
seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, ‘Umdat
al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman
Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.