Search here

26 Jun 2017

Tafsir Materialistik terhadap Supranatural

Hubungan Tafsir Materialistik terhadap supranatural

Bagaimana hubungan antara Tafsir Materialistik terhadap supranatural, benarkah Para mufasir modernis  menolak adanya fenomena supranatural, lantas Jika kemudian dalam Al-Quran terdapat kisah-kisah  yang gaib, yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, mereka  melihat  kata-kata dalam Al-Quran sebagai metafora.lantas bagaimana menafsirkan  Al-Baqarah 260: Ali Imran ayat 49: dan Al-Fakhr Al-Razi mengemukakan kritik pada pendapat Abu Muslim. Para mufasir ini tampaknya “risih” untuk  menerima fenomena yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.  Generasi mufasir ini memang lahir di tengah arus modernisasi yang ditandai dengan rasionalitas, materialisme, dan positivisme sains.selanjutnya bisa kita simak penjelasan berikut ini.


Bagaimana hubungan Tafsir Materialistik terhadap supranatural, tentunya mari kita simak sekelumit dari keterangan ini. Para mufasir modernis  menolak adanya fenomena supranatural.  Jika kemudian dalam Al-Quran terdapat kisah-kisah  yang gaib, yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, mereka  melihat  kata-kata dalam Al-Quran sebagai metafora. 

Dalam Al-Quran beberapa kali dikisahkan  orang  yang  dimatikan kemudian dihidupkan kembali, atau dengan izin Allah Ibrahim menghidupkan burung yang sudah dipotong-potong, Isa menghidupkan burung yang dibuat dari tanah. Menghidupkan yang sudah mati adalah hal yang sukar diterima dan tidak dapat dijelaskan secara ilmiah. Karena itu, kata “menghidupkan” dan “mematikan” diberi makna kiasan.

Ketika menjelaskan Al-Baqarah 243,

۞أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ خَرَجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَهُمۡ أُلُوفٌ حَذَرَ ٱلۡمَوۡتِ فَقَالَ لَهُمُ ٱللَّهُ مُوتُواْ ثُمَّ أَحۡيَٰهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَذُو فَضۡلٍ عَلَى ٱلنَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَشۡكُرُونَ ٢٤٣

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: ”Matilah kamu”, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”, 

Sayyid Rasyid Ridha menulis:
“Tuhan ingin menjelaskan sunnahnya berkenaan dengan bangsa-bangsa yang dilanda sifat pengecut sehingga tidak bisa melawan musuh yang menyerang mereka. Makna kehidupan umat dan kematiannya cukup dipahami oleh kebanyakan orang. Kematian kaum tersebut terjadi karena musuh mengalahkan mereka dan menghilangkan kekuatan mereka, menghilangkan kebebasan mereka sebagai bangsa. Jadilah mereka bangsa yang tidak diperhitungkan karena kesatuannya sudah bercerai-berai. Anggota-anggota bangsa itu sudah tunduk kepada penjajah mereka sehingga mereka tidak lagi memiliki wujud, karena wujud mereka tunduk pada wujud orang lain. Arti kehidupan bangsa adalah kembalinya lagi kebebasan kepada bangsa itu. Salah satu dari kasih sayang Allah swt kepada manusia adalah menurunkan musibah kepada mereka sebagai pelajaran dan pensucian dari akhlak yang tercela. Allah menimbulkan kesadaran kepada kaum itu akibat sifat pengecut mereka dan kepahitan perpecahan di antara mereka. Setelah timbul kesadaran mereka menghimpun kekuatan mereka, memperkokoh ikatan di antara mereka sehingga mereka memperoleh kembali kekuatan dan kesatuan mereka yang perkasa. Dengan begitu mereka berhasil keluar dari kehinaan penghambaan kepada kemuliaan kemerdekaan. Inilah makna kehidupan dan kematian bangsa. Satu bangsa mati ketika mereka menerima kezaliman sehingga keadaan mereka seperti bangkai. Tidak keluar dari mereka karya-karya dinamis.

Dengan cara yang hampir sama, Sayyid Rasyid Ridha menafsirkan  Al-Baqarah 260: “

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِ‍ۧمُ رَبِّ أَرِنِي كَيۡفَ تُحۡيِ ٱلۡمَوۡتَىٰۖ قَالَ أَوَ لَمۡ تُؤۡمِنۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطۡمَئِنَّ قَلۡبِيۖ قَالَ فَخُذۡ أَرۡبَعَةٗ مِّنَ ٱلطَّيۡرِ فَصُرۡهُنَّ إِلَيۡكَ ثُمَّ ٱجۡعَلۡ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٖ مِّنۡهُنَّ جُزۡءٗا ثُمَّ ٱدۡعُهُنَّ يَأۡتِينَكَ سَعۡيٗاۚ وَٱعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٢٦٠

Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” Allah berfirman: “(Kalau demikian) Ambillah empat ekor burung dan cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman) Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggilllah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera dan ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Sayyid Rasyid Ridha mengutip pendapat jumhur mufasir bahwa Ibrahim mencincang  empat ekor burung menjadi beberapa potong. Setiap potong diletakkan di  bukit yang berbeda.  Ibrahim memanggil burung-burung itu. Mereka datang kepadanya. Dengan cara itulah Tuhan menunjukkan bagaimana menghidupkan yang mati. Sayyid Rasyid Ridha segera mengutip dan menyetujui pendapat  Abu Muslim yang menolak penafsiran Jumhur. Menurut Abu Muslim, kata “fa shurhunna” berarti “cenderungkanlah mereka” atau “jinakkan mereka”, bukan “cincanglah mereka”. Nabi Ibrahim as melatih burung-burung itu, menjinakkannya, lalu menempatkannya pada bukit-bukit yang berjauhan. Kemudian ia memanggilnya, dan burung-burung itu pun berdatangan, seperti merpati-merpati pos. Seperti itulah nanti Allah membangkitkan orang-orang yang mati. Dia cukup memanggilnya, “Hiduplah kamu semua.”

Al-Fakhr Al-Razi mengemukakan kritik pada pendapat Abu Muslim. Salah satu argumentasinya –yang menurut saya sangat kuat- ialah sekiranya yang dilakukan Ibrahim itu seperti itu, maka apa kelebihan Ibrahim dibandingkan dengan yang lain. Dengan cara itu, semua orang bisa melakukannya.  Mukjizat tidak lagi “mukjizat”, tetapi hal-hal biasa yang sehari-hari kita temukan.  Saya tidak akan mengutip  pembelaan Sayyid Rasyid Ridha  pada  Abu Muslim dalam hal ini.

Dalam peristiwa penyembelihan sapi untuk membongkar siapa yang membunuh seseorang  pada zaman Bani Israil, Sayyid Rasyid Ridha  juga menolak  cerita hidupnya kembali  orang yang terbunuh itu. Ia merujuk pada syariat di kalangan Bani Israil bila terjadi  pembunuhan misterius. Mereka harus membasuh tangannya. Jika ada yang tidak mau membasuhnya, jelaslah dia yang bersalah. Dengan begitu terpeliharalah masyarakat dari perpecahan karena saling menuding.  Inilah yang dimaksud dengan “menghidupkan”; yakni memelihara agar darah tidak tumpah akibat perpecahan. Sayang sekali, Sayyid Rasyid Ridha tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan “pukullah dengan sebagian dari daging sapi itu.” Lagi pula, syariat seperti yang disebutkannya tidak terdapat di kalangan Bani Israil. Ia pun tidak menunjuk sumbernya.

Upaya untuk menundukkan peristiwa supranatural –seperti mukjizat- pada penjelasan “ilmiah” seringkali tidak berhasil. Sayyid Rasyid Ridha sangat kesulitan ketika menjelaskan sehingga ia tidak menjelaskan apa pun tafsir Ali Imran ayat 49:

وَرَسُولًا إِلَىٰ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ أَنِّي قَدۡ جِئۡتُكُم بِ‍َٔايَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ أَنِّيٓ أَخۡلُقُ لَكُم مِّنَ ٱلطِّينِ كَهَيۡ‍َٔةِ ٱلطَّيۡرِ فَأَنفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيۡرَۢا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۖ وَأُبۡرِئُ ٱلۡأَكۡمَهَ وَٱلۡأَبۡرَصَ وَأُحۡيِ ٱلۡمَوۡتَىٰ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۖ وَأُنَبِّئُكُم بِمَا تَأۡكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمۡۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لَّكُمۡ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٤٩

Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung, kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan kehendak Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.”

Apa yang tidak dapat dijelaskan Sayyid Rasyid Ridha kemudian diterangkan oleh  Maulana Muhammad Ali:

Dengan penafsiran seperti itu, tentu saja fenomena supranatural  dinafikan.  Para mufasir ini tampaknya “risih” untuk  menerima fenomena yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.  Generasi mufasir ini memang lahir di tengah arus modernisasi yang ditandai dengan rasionalitas, materialisme, dan positivisme sains. Perkembangan penelitian mutakhir dan kelahiran pascamodernisme   melihat penafsiran seperti ini sebagai sangat naif.  semoga postingan ini dapat bermanfa'at dan Selanjutnya penulis mempersilahkan untuk menyimpulkan sendiri.


Demikianlah pembahasan terhadap bagaimana hubungan Tafsir Materialistik terhadap supranatural, tentunya bisa kita simpulkan sendiri namun untuk lebih mendalam lagi penting juga kita memahami terhadap Tafsir Spiritual Terhadap PeristiwaSupranatural selanjutnya mari kita baca di sini pada link tersebut yang sudah Abah Opar cantumkan dan terima kasih sudah mampir di situs kami semoga bermanfaat.

Sumber
      1.     Sayyid Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Makrifah, tanpa tahun.
2.     Makalah KH. Jalaluddin Rakhmat pada Klub Kajian Agama Paramadina, Kekuatan Supranatural Dalam Al-Quran, tanggal 21 Juni 1996, di Jakarta.
3.     Muhammad Ali. Qur’an Suci:  Terjemah dan Tafsir. Jakarta: Darul Kutubil Islamiah, 1986, hal. 183.
4.    Michael Murphy  melakukan penelitian selama tiga puluh tahun  tentang apa yang disebutnya sebagai “extraordinary physcal, mental, and spiritual capacities.”  Ia menegaskan bahwa kemampuan supranatural sebanarnya hanyalah perkembangan lebih lanjut dari evolusi manusia  -inorganis, biologis, psikososial, spiritual.  Lihat Michael Murphy. The Future of Human Body.  Los Angeles: Jeremy P. Tarcher, 1992. Untuk  memperoleh hasil penelitian psikis (psychical research) yang mudah dibaca dan menarik, bacalah  Collin Wilson. Ed.  The Giant Book of the Supernatural: Unlock the Earth’s Hidden Mysteries. Sydney: The Book Company International, 1994.

Pageviews Artcle

Rekomendasi Unuk Anda Baca

9 Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah

Education and Knowledge Update   Apa Saja Yang Termasuk 9 Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah itu ? Sahabatku beriku...

Comments
Comments