Berdasarkan
Undang-Undang, Pajak Merupakan Iuran Rakyat Kepada Kas Negara
Sebagai Sumber Pembiayaan Bagi Negara Dalam Menjalankan Pemerintahan.
Berdasarkan
Undang-Undang, Pajak Merupakan Iuran Rakyat Kepada Kas Negara
Sebagai Sumber Pembiayaan Bagi Negara Dalam Menjalankan Pemerintahan.
Pengertian
Perpajakan
Pajak
merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi Negara dalam menjalankan
pemerintahan. Pajak ikut ambil bagian dalam pembangunan di seluruh aspek
kehidupan di negara ini. Tanpa pajak, pembangunan tidak akan berjalan
lancar karena besarnya pembiayaan yang diperlukan tidak akan bisa ditutupi
dengan pinjaman dan bantuan luar negeri.
Menurut
Soemitro dalam Rahayu, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat
jasa timbal balik (kontrapretasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian
dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan
dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin
dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber
utama untuk membiayai public investment[1].
Menurut
Adriani dalam Brotodiharjo pajak adalah iuran masyarakat kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan[2].
Dari
pengertian-pengertian tersebut disimpulkan bahwa pajak memiliki
unsur-unsur (Rahayu, 2010:23):
1. Pajak dipungut
berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
2. Pajak dapat dipaksakan.
Hal ini berarti pelanggaran atas aturan perpajakan akan berakibat adanya
sanksi.
3. Dalam pembayaran pajak
tidak dapat ditunjukkan adanya kontrapretasi secara langsung oleh pemerintah.
4. Pajak dipungut oleh
negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tidak boleh dilakukan
pihak swasta yang orientasinya adalah mencari laba.
5. Pajak diperuntukkan bagi
pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat
surplus, maka akan dipergunakan untuk membiayai public invesment.[3]
Adapun beberapa jenis pajak berdasarkan pengelompokannya yaitu:
a. Menurut
golongannya
1.
Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan
tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
2.
Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
2. Menurut
Sifatnya
a.
Pajak Subjektif,
yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti
memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh
: Pajak Penghasilan
b. Pajak
Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada
objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh : Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut
Lembaga Pemungutnya
Pajak pusat,
yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai
rumah tangga Negara.
Contoh
: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang
mewah, pajak bumi dan bangunan, dan bea materai.
Pajak daerah, yaitu
pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah
tangga daerah.
Pajak
daerah terdiri atas :
a) Pajak
propinsi
Contoh : Pajak kendaraan bermotor dan pajak
bahan baker kendaraan bermotor.
b) Pajak
kabupaten / kota
Contoh
: pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan
Partisipasi
Membayar Pajak
Bagaimanapun
juga, menuju wajib pajak patuh adalah tujuan yang ingin dicapai oleh
pemerintah
dan kepatuhan ini hanya akan terwujud jika setiap orang memiliki kesadaran
yang baik. Kesadaran merupakan unsur dalam diri manusia untuk memahami
realitas dan bagaimana mereka bertindak atau bersikap terhadap realitas.
Definisi
kesadaran wajib pajak menurut Nasution adalah
sebagai berikut: “Kesadaran wajib pajak merupakan sikap wajib pajak
yang telah memahami dan mau melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak
dan telah melaporkan semua penghasilannya tanpa ada yang disembunyikan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”[4]
Nurmantu
menyatakan bahwa: “Kesadaran wajib pajak menyatakan penilaian positif
masyarakat wajib pajak terhadap pelaksanaan fungsi negara oleh pemerintah
akan menggerakan masyarakat untuk mematuhi kewajibannya untuk membayar
pajak[5].”
Kesadaran
untuk mematuhi ketentuan (hukum pajak) yang berlaku tentu berkaitan dengan
factor-faktor apakah ketentuan hukum tersebut telah diketahui, diakui,
dihargai. Bila seseorang hanya mengetahui, berarti kesadaran
hukumnya lebih rendah dari mereka yang mengetahui demikian seterusnya.
Idealnya untuk mewujudkan sadar dan peduli pajak, wajib pajak meski diajak
untuk mengetahui, mengakui, menghargai, dan menaati ketentuan perpajakan
yang berlaku.
Nurmantu
menyatakan bahwa: “Wajib pajak terhadap pelaksanaan fungsi negara oleh
pemerintah akan menggerakan masyarakat untuk mematuhi kewajibannya untuk
membayar pajak. Kesadaran perpajakan tumbuh karena rakyat merasa ikut
serta dalam menentukan peraturan perpajakan.[6]”
Mewujudkan
wajib pajak yang sadar dan peduli pajak tidak bias berlandaskan adagium
hukum, semua orang dianggap tahu atas undang-undang yang telah dikeluarkan
pemerintah. Pikiran idealisme tidak efektif, karena tidak memperhitungkan
kondisi lainnya, seperti kondisi sosiologis agar ia menaati ketentuan yang
berlaku. Upaya sosialisasi peraturan menjadi salah satu
factor keberhasilan mewujudkan wajib pajak yang sadar dan peduli pajak.
1. Menurut Nasution dalam mewujudkan
wajib pajak yang sadar dan peduli pajak, telah dijalankan berbagai macam
cara seperti:
a. “Pelayanan prima; memberikan pelayanan yang prima
kepada wajib pajak telah menjadi program khusus Direktorat Jenderal Pajak
seperti penunjukkan Account Representative (AR) untuk melayani wajib pajak
secara khusus, dengan pencepatan pemberian restitusi wajib pajak patuh,
pembayaran pajak secara online (online payment), pendaftaran wajib pajak serta
pelaporannya melalui e-regristration, segala informasi peraturan terbaru bisa
diketahui wajib pajak melalui website:www.pajak.go.id, dll.
b. Penyuluhan pajak; pada dasarnya setiap petugas
pajak (fiskus) adalah penyuluh pajak. Sebagai konsekuensi logis Self
Assessment System yang dianut, maka wajib pajak mempunyai hak mendapatkan
pembinaan dan pengarahan dari fiskus.
c. Pemeriksaan pajak; kegiatan pemeriksaan
dalam rangka menguji kepatuhan wajib pajak itu sendiri. Harapan
meningkatkan efektivitas lawenforcement telah diwujudkan melalui kualitas
pemeriksaan, profesionalisme tenaga pemeriksa, metode dan prosedur
pemeriksaan dengan sistem informasi manajemen pemeriksaan pajak melalui
otomasi computer. Sistem pemeriksaan yang terus disempurnakan ini
diharapkan akan menghilangkan tumpang tindih pemeriksaan, sehingga
kepastian hukum utang pajak segera dapat diketahui wajib pajak.
d. Penagihan; upaya membangun wajib pajak yang sadar
dan peduli pajak dilakukan melalui tindakan menagih utang pajak yang belum
dilunasi wajib pajak.”
2. Kesadaran perpajakan
masyarakat yang rendah seringkali menjadi salah satu sebab banyaknya potensi
pajak yang tidak dapat dijaring.kesadaran perpajakan seringkali menjadi kendala
dalam masalah pengumpulan pajak dari masyarakat.
Kesadaran wajib pajak atas perpajakan sangat
diperlukan guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Tingkat kesadaran
perpajakan menunjukkan seberapa besar tingkat pemahaman seseorang tentang arti,
fungsi dan peranan pajak. Semakin tinggi tingkat kesadaran wajib pajak maka
pemahaman dan pelaksanaan kewajiban perpajakan semakin baik sehingga dapat
meningkatkan kepatuhan.
Indikator kesadaran wajib Pajak menurut
Irianto, yang mendorong wajib pajak untuk membayar pajak, di antaranya :
a. Kesadaran bahwa pajak
merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara. Dengan
menyadari hal ini, wajib pajak mau membayar pajak karena merasa tidak dirugikan
dari pemungutan pajak yang dilakukan. Pajak disadari digunakan untuk
pembangunan negara guna meningkatkan kesejahteraan warga negara.
b. Kesadaran bahwa penundaan
pembayaran pajak dan pengurangan beban pajak sangat merugikan negara.
Wajib pajak mau membayar pajak karena memahami bahwa penundaan pembayaran
pajak dan pengurangan beban pajak berdampak pada kurangnya sumber
daya finansial yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembangunan negara.
c. Kesadaran bahwa pajak ditetapkan
dengan undang-undang dan dapat dipaksakan. Wajib pajak akan membayar
karena pembayaran pajak disadari memiliki landasan hukum yang kuat dan
merupakan kewajiban mutlak setiap warga negara.”
Pajak Kendaraan Bermotor
Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB) adalah pajak yang dipungut atas kepemilikan dan
atau penguasaan Kendaraan Bermotor. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN
KB) adalah pajak yang dipungut atas setiap penyerahan kendaraan bermotor
dalam hak milik. Kendaraan Bermotor (KBM) adalah semua kendaraan beroda
dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan
darat, dan digerakkan oleh peralatan teknis berupa motor atau peralatan
lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu
menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan termasuk
alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak.
Contoh: Dasar hukum Pengenaan
Pajak Kendaraan Bermotor di Provinsi Jawa Barat.
1. Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat (Berita Negara
Republik Indonesia tanggal 4 Juli Tahun 1950) jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1950 tentang Pemerintahan Jakarta Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1950 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 15)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 47) dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4010).
2. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2014 tentang Penghitungan
Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Tahun 2014, serta ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 23 Peraturan Daerah
Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
5. Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737)
6. Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan
Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 Nomor 9
Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 46)
7. Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pokok-pokok Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 Nomor 11 Seri
E, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 48)
8. Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 Nomor 13 Seri B, Lembaran Daerah Provinsi
Jawa Barat Nomor 105)
Dasar pengenaan PKB dihitung sebagai perkalian dua unsur pokok yaitu Nilai
Jual Kendaraan Bermotor dan Bobot yang mencerminkan secara relatif kadar
kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
Nilai jual kendaraan bermotor diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas
suatu kendaraan bermotor. Dalam hal harga pasaran umum atas suatu kendaraan
bermotor tidak diketahui, Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan
faktor-faktor seperti isi silinder dan/atau satuan daya, penggunaan kendaraan
bermotor, jenis kendaraan bermotor, merek kendaraan bermotor, tahun pembuatan
kendaraan bermotor, berat total kendaraan bermotor, banyaknya penumpang yang
diizinkan, dan dokumen impor untuk jenis kendaraan bermotor tertentu. Bobot
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan faktor-faktor
seperti tekanan gandar, jenis bahan bakar kendaraan bermotor, jenis,
penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin dari kendaraan bermotor.
Pendapatan Daerah
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
yang secara teknis mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang
Perubahan Pertama Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah serta mengacu pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan
APBD Tahun Anggaran 2014, bahwa APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan
daerah dalam masa satu tahun anggaran, yang terdiri atas Pendapatan Daerah,
Belanja Daerah, dan Pembiayaan Daerah.
Secara umum komponen
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ini dapat dikategorikan ke dalam dua
jenis, yaitu:
a.
Penerimaan daerah, terdiri dari pendapatan daerah yang merupakan
perkiraan terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan,
dan penerimaan pembiayaan daerah yang merupakan semua penerimaan yang harus
dibayar kembali baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun pada tahun
anggaran berikutnya;
b. Pengeluaran daerah,
terdiri dari belanja daerah yang merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah
yang dialokasikan sesuai dengan urusan pemerintahan daerah yang menjadi
kewenangan daerah maupun yang ditugaskan serta kebutuhan lainnya yang sejalan
dengan perundangan yang berlaku, dengan pendistribusiannya mengindahkan
prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan agar relatif dapat dinikmati oleh
seluruh kelompok masyarakat khususnya dalam memberikan pelayanan umum;
c.
Pengeluaran pembiayaan daerah yang merupakan semua pengeluaran
yang akan diterima kembali pada tahun anggaran terkait maupun pada tahun
berikutnya.
Peraturan perundangan yang mengatur pajak dan retribusi daerah ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah dengan pemberlakuan pelaksanaannya efektif pada Tahun 2010. Sebagai
pelaksanaan dari Perundangan-undangan tersebut, telah ditetapkan Peraturan
Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak daerah dan Peraturan daerah Nomor
14 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah sebagaimana telah dirubah dengan
Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2014 tentang Perubahan Peraturan daerah Nomor
14 Tahun 2011.
Kebijakan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2014 untuk pendapatan daerah,
diarahkan melalui upaya peningkatan pendapatan daerah dari sektor Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, dan Dana Perimbangan serta penerimaan dari BUMD. Upaya-upaya
yang dilakukan oleh Pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah,
dengan cara:
1.
Intensifikasi dan ekstensifikasi objek pendapatan daerah dari
sumber PAD yang lebih efektif;
2.
Revitalisasi peran dan skala usaha BUMD;
3.
Mendukung Kanwil Direktorat Jendral Pajak dan kantor Pelayanan
Pajak (KPP) dalam rangka optimalisasi pemungutan PBB, PPh Orang Pribadi Dalam
Negeri (OPDN) dan PPh Pasal 21;
4.
Memperkuat kemampuan analisis yang makin akurat terhadap kondisi
makro ekonomi nasional dan regional untuk kepentingan penyusunan asumsi-asumsi
perhitungan pendapatan daerah;
5.
Validasi potensi pendapatan secara berkesinambungan;
6.
Optimalisasi pengelolaan asset dan keuangan daerah;
7.
Peningkatan akurasi data Sumber Daaya Alam sebagai dasar
perhitungan pembagian Dana Perimbangan;
8.
Optimalisasi ruang koordinasi perhitungan Dana Perimbangan degan
unsur pemerintah pusat;
9.
Inisiasi sumber sumber pendapatan dari pihak ketiga/ masyarakat;
10. Penegakkan regulasi
perpajakan dan retribusi secara konsisiten;
11. Optimalisasi seluruh
perangkat pendapatan pada seluruh unit pengelola pendapatan;
12. Memperkuat pelaksanaaan
koordinasi pemungutan dengan seluruh stakeholder;
13. Meningkatkan kompetensi
pegawai yang makin kompetitif;
14. Memberlakukan sistem
reward untuk pencapaian kinerja organisasi;
15. Menerapkan SOP yang makin
teruji;
16. Melakukan standarisasi
sarana dan prasarana pengelolaan pendapatan;
17. Penyediaan sentra-sentra
layanan pendapatan yang berada di pusat-pusat komunitas publik;
18. Memberikan pilihan untuk
membayar pajak melalui ATM (e-Samsat);
19. Penerapan teknologi
informasi yang relevan dengan peningkatan kinerja organisasi;
20. Penerapan model dan
metode koordinasi pendapatan yang makin efektif;
21. Mempertajam sistem
pengendalian kinerja;
22. Melakukan pengembangan
sistem pendapatan yang terintegrasi secara online.
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah didefenisikan sebagai rencana operasional keuangan pemerintah
daerah yang menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna
membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun aggaran
serta menggambarkan juga perkiraan penerimaan tertentu dan sumber-sumber
penerimaan daerah yang menutupi pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud (Halim,
2006).
Penerimaan Pendapatan
Asli Daerah merupakan akumulasi dari Pos Penerimaan Pajak yang berisi Pajak Daerah
dan Pos Retribusi Daerah, Pos Penerimaan Non Pajak yang berisi hasil perusahaan
milik daerah, Pos Penerimaan Investasi serta Pengelolaan Sumber Daya Alam
(Isdijoso, 2002). Identifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah meneliti,
menentukan dan menetapkan mana sesungguhnya yang menjadi sumber Pendapatan Asli
Daerah dengan cara meneliti dan mengusahakan serta mengelola sumber pendapatan
tersebut dengan benar sehingga memberikan hasil yang maksimal (Elita dalam
Pratiwi, 2007).
Daftar Pustaka
[1] Rahayu, Siti Kurnia. “Perpajakan
Indonesia”. Edisi Pertama. (Yogyakarta : Graha Ilmu. 2010). h. 22
[2] Brotodiharjo, R. Santoso, “Pengantar
Ilmu Hukum Pajak”. (Bandung,
PT. Refika Aditama, 2009)h. 19
[3] Rahayu, Siti Kurnia, opcit.
[4] Nasitoon, .... 2006), h.62
[5] Nurmantu, ...........(............., 2005)h.7