Search here

14 Mar 2018

Pengaruh Motivasi dan Kedisiplinan Kerja terhadap Kinerja

Education and Knowledge Update
Upaya peningkatan motivasi dan kedisiplinan kerja pegawai harus terus ditingkatkan seoptimal mungkin guna peningkatan mutu kinerja. Suatu Organisasi semestinya menciptakan solusi atas masalah rendahnya motivasi dan disiplin kerja pegawai yang dihadapi, mulai dari bagaimana menentukan kerangka pemikiran, hipotesis dan implementasi tindakan yang relevan. Upaya untuk menyikapi hal tersebut pada kesempatan ini Abah Opar akan membahasnya secara komprehensif semoga bermanfaat minimal sebagai knowledge. Pokok bahasan kita khususkan mengenai seberapa besar pengaruh motivasi dan kedisiplinan kerja terhadap kinerja Organisasi. Bagaimana masalah-masalah tesebut berkaitan satu dengan lainnya. Semestinya kita memahami telebih dahulu satu persatu tentunya tentang apa itu motivasi, kedisiplinan, dan kinerja baru menentukan kerangka pemikiran serta hipotesisnya. Untuk itu mari kita mulai pembahasannya.


Motivation is an activity giving a boost to someone or yourself to take a desired action. So motivation means evoke motifs, evoke the power of motion or moving someone or yourself to do something in order to achieve a satisfaction or purpose


Abah Opar: Pengaruh Motivasi dan Kedisiplinan Kerja terhadap Kinerja Suatu Organisa


Motivasi Kerja
Sepanjang mengenai kebutuhan dan keinginan yang tidak dapat dipenuhi, seorang manusia berusaha mencapainya dengan bekerja sama dengan orang lain atau memasuki suatu organisasi dan disini pulalah dimulai karir seseorang sebagai anggota organisasi. Motivasi merupakan potensi individual yang sifatnya sangat spesifik, yang dapat dibangkitkan dan didorong oleh faktor-faktor dalam diri seseorang atau lingkungan dimana individu tersebut berada. Pengaruh-pengaruh tersebut akan menimbulkan sikap positif pada diri individu sehingga akan membangkitkan motivasi yang dapat menggerakkan individu untuk bekerja atau beraktivitas sesuai dengan tuntutan organisasi dalam mencapai tujuan.
Terdapat beberapa pengertian motivasi dari para ahli. Julius, yang dikutip oleh Sastrodiningrat (2007:196), mengemukakan sebagai berikut:
Motivasi adalah kegiatan memberikan dorongan kepada seseorang atau diri sendiri untuk mengambil suatu tindakan yang dikehendaki. Jadi motivasi berarti membangkitkan motif, membangkitkan daya gerak atau menggerakkan seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau suatu tujuan.

Duncan, yang dikutip Wahjosumidjo (2006:178) mengemukakan, bahwa: “From a managerial perspektive, motivation refers to any concious attempt to influence behavior toward the accomplishment of organization goals”. Hal ini berarti motivasi adalah suatu usaha sadar untuk mempengaruhi perilaku seseorang agar supaya mengarah tercapainya tujuan organisasi.

Reksohadiprodjo dan Handoko (2006:256) menjelaskan, bahwa: “Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan”.

Sarwoto (2007:136) mengemukakan, bahwa:” Motivasi dapat diberi batasan sebagai proses pemberian motif (penggerak) bekerja kepada para bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi secara efisien”.

Gondokusumo (2006:26) mengemukakan, bahwa:” Motivasi atau dorongan kerja timbul dalam diri seseorang dan mendorong orang ini untuk bekerja apabila sikapnya positif terhadap kerja”.
Wahjosumidjo (2006:174) mendefinisikan, bahwa: “Motivasi sebagai suatu proses psikologi yang mencerminkan interaksi sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi dalam diri seseorang”.

Effendi (2007:51) mengemukakan:” Motivasi berarti membangkitkan motif, membangkitkan daya gerak, atau menggerakkan seseorang atau dirisendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau suatu tujuan”. Inilah letaknya peran pentingnya motivasi.

Davis (2006:112) mengemukakan, bahwa:” Motivasi adalah alasan seorang untuk menjalankan sesuatu kegiatan. Hal ini biasanya dijelaskan dalam istilah dorongan atau kebutuhan manusia”.

Husnan (2006:149) mengatakan, bahwa:” Motivasi adalah sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak dan berperilaku tertentu”.

Pedoman pengembangan budaya kerja aparatur negara (2000:52) menjelaskan, bahwa: “Motivasi lebih merujuk kepada tujuan dari perilaku yang pada dasarnya adalah kebutuhan dari pelaku yang bersangkutan”.

Moekijat (2006:330) menjelaskan, bahwa: “Motivasi adalah pengaruh sesuatu kekuatan yang menimbulkan kelakuan. Kata pengaruh dapat mengganti memberi motivasi dalam masalah pimpinan, dengan cara yang lain kita menanyakan apakah yang memberikan motivasi (mempengaruhi) kepadanya”.

Reksohadiprodjo dan Handoko (2006:257-259) menjelaskan, bahwa: “Terdapat dua jenis motivasi yang dapat dimanfaatkan dalam menggerakkan dan mempengaruhi anggota kelompok atau organisasi, yaitu: motivasi internal dan eksternal”. Motivasi internal adalah kondisi yang mendorong terjadinya suatu perbuatan atau kegiatan yang berada di dalam kegiatan itu sendiri. Kondisi itu berbentuk kesadaran mengenai arti dan manfaat suatu perbuatan atau kegiatan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain dan masyarakat luas. Beberapa bentuk motivasi ini adalah motivasi mengabdi, beramal, dan berbuat kebajikan, berpretasi karena tanggung jawab, menyalurkan dan mengembangkan bakat, minat atau perhatian dan lain-lainnya yang sifatnya tidak mengharapkan pamrih material/non material. Sedangkan motivasi eksternal adalah kondisi yang mendorong terjadinya suatu perbuatan/kegiatan yang berada di luar kegiatan itu sendiri. Kondisi ini merupakan faktor luar yang sudah ada atau yang sengaja diadakan dalam kaitannya dengan kebutuhan dan kepribadian, yang mendasari keyakinan dan menimbulkan kemauan untuk melakukan kegiatan yang dipandang paling tepat dan terbaik. Faktor luar yang menjadi motivasi ini antara lain berbentuk pemberian hadiah, insentif, pujian, paksaan (sanksi atau hukuman), situasi kerja yang menyenangkan keinginan untuk menyenangkan orang lain, prestasi yang memuaskan atasan dan lain-lain.

Pada umumnya tingkah laku manusia dilakukan secara sadar. Artinya selalu didorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Kartono (2007:88) mengemukakan, bahwa: “Dorongan ialah desakan yang dialami untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan hidup, dan merupakan kecenderungan untuk mempertahankan hidup”.

Melihat uraian di atas, pada hakekatnya motivasi merupakan potensi individual yang sifatnya sangat spesifik, yang dibangkitkan dan didorong oleh faktor-faktor dalam diri seseorang atau lingkungan dimana individu tersebut berada. Pengaruh tersebut akan menimbulkan sikap positif pada diri individu sehingga akan membangkitkan motivasi yang dapat menggerakkan individu untuk bekerja atau beraktivitas sesuai dengan tuntutan organisasi dalam mencapai tujuan. Sehingga teori tentang motivasi dapat dibuat sintesis bahwa motivasi adalah kemauan untuk berbuat sesuatu guna memenuhi kebutuhan, keinginan, dorongan, dan hasratnya, terhadap tujuan yang diinginkan. Hal ini dikarenakan motivasi berawal dari motif (dorongan). Dorongan tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat, sehingga motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dalam upaya untuk mencapai tujuan tertentu.

Berelson dan Steiner, yang dikutip oleh Wahjosumidjo (2006:178) mengemukakan, bahwa:” Motif pada hakekatnya merupakan terminologi umum yang memberikan makna, daya dorong, keinginan, kebutuhan, dan kemauan. Dan sesungguhnya bahwa motif-motif atau kebutuhan tersebut merupakan penyebab yang mendasari perilaku seseorang”.

Davis, yang dikutip Sastrodiningrat (2007:196), mengemukakan, bahwa: “Suatu motif timbul berdasarkan kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup manusia ada 2 (dua) jenis, pertama kebutuhan primer atau kebutuhan psikologi yang pokok, kedua kebutuhan sekunder atau kebutuhan yang bersifat sosial psikologis”. Kebutuhan primer atau motif primer diantaranya ialah kebutuhan akan makanan, air untuk minum, udara untuk bernafas, tidur, kebutuhan sex dan lain-lain. Kebutuhan primer ini sifatnya universal. Kebutuhan sekunder kurang begitu pasti dibandingkan dengan kebutuhan primer, oleh karena merupakan kebutuhan bagi pikiran dan rohaninya. Dan kebutuhan yang kedua ini berkembang sejalan dengan usia yang semakin bertambah, contohnya persaingan harga diri, kepentingan diri sendiri, memiliki sesuatu, melaksanakan tugas dan sebagainya.

Kebutuhan sekunder lebih bervariasi daripada kebutuhan primer. Kebutuhan kedua atau motif sekunder itu berpengaruh kepada tingkah laku seseorang. Motif yang sama dapat menimbulkan tingkah laku yang berbeda pada saat yang berbeda. Sebaliknya suatu tingkah laku yang sama dapat disebabkan oleh berbagai motif.

Secara spesifik, motivasi adalah kemauan untuk berbuat sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan, keinginan, dorongan atau impuls. Motivasi seseorang tergantung kepada kekuatan motifnya. Kekuatan motif seseorang dapat berubah karena terpuaskan kebutuhan, dan karena adanya hambatan. Sebab, dalam memasuki suatu organisasi, setiap pegawai secara implisit selalu membawa kebutuhan dan keinginannya masing-masing, baik yang positif maupun yang negatif. Sehingga dalam setiap organisasi selalu terdapat dua pola kepentingan, yaitu di satu pihak kepentingan organisasi yang dijelmakan dalam pencapaian tujuan organisasi, dan di lain pihak kepentingan masing-masing individu sebagai penjelmaan kebutuhan dan keinginan individual masing-masing anggota. Motif dengan kekuatan yang sangat besarlah yang akan menentukan perilaku seseorang. Motif yang kuat seringkali berkurang bila telah mencapai kepuasan atau kegagalan.

Adanya frustasi memberikan beberapa kemungkinan terhadap kekuatan motif. Pertama bisa menimbulkan patah semangat, dan tidak mau mencoba lagi. Akibatnya produktivitas kerja pegawai akan menurun. Namun ada pula pegawai yang karena frustasi memberikan balikan yang sangat positif lalu dia mencoba lagi sekuat tenaga. Hanya jika ia menghadapi frustasi lagi maka akibatnya menjadi fatal. Mereka dapat melakukan tindakan destruktif, demonstrasi, menyerang pimpinan, dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan manajemen sumber daya manusia, motivasi kerja pegawai adalah kemauan kerja seorang pegawai untuk menyelesaikan pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Untuk lebih jelasnya, pengertian motivasi mengandung hal-hal:
a.      Merupakan daya pendorong dalam diri seseorang pegawai untuk melakukan suatu perbuatan tertentu ke arah positif sesuai kebutuhan dan keinginan
b.     Merupakan manifestasi dari keinginan yang kuat untuk mencapai suatu tujuan
c.      Sebagai sarana yang dapat digunakan untuk memadukan tujuan yang bersangkutan dengan tujuan organisasi atau kelompok
d.     Merupakan hal yang spesifik yang sangat bergantung kepada pribadi yang bersangkutan, dan
e.      Merupakan kondisi yang tidak tetap dan dapat berubah dari waktu ke waktu.

Selanjutnya, Herzberg menguraikan tentang teori motivasi menurut Higienes, bahwa: “Idealnya motivasi yang dapat meransang usaha adalah untuk melaksanakan tugas yang lebih ahli dan untuk mengembangkan kemampuan” (Buchari Alma, 2006:78). Adapun hal-hal yang mendorong pegawai adalah pekerjaan menantang yang mencakup perasaan berprestasi dan bertanggung jawab, kemajuan dapat dinikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya pengakuan atas semua itu. Hal yang mengecewakan pegawai terutama adalah faktor yang bersifat embel-embel saja pada pekerjaan, peraturan pekerjaan, istirahat, sebutan jabatan, hak gaji serta tunjangan-tunjangan, pegawai menjadi kecewa bila peluang untuk berprestasi ini hanya terbatas untuk mereka menjadi inisiatif pada daerah lingkungan serta mulai mencari kelemahan-kelemahan.

Menurut Herzberg, bahwa dalam melakukan pekerjaannya setiap orang dipengaruhi oleh dua faktor yang merupakan kebutuhan yaitu faktor-faktor pemeliharaan dan faktor motivasi. Faktor pemeliharaan berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman badaniah. Kebutuhan kesehatan ini merupakan kebutuhan yang berlangsung secara terus menerus, oleh karenanya kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah terpenuhi. Faktor-faktor pemeliharaan ini meliputi hak gaji, kondisi kerja fisik, kepastian kerja, supervisi yang menyenangkan, mobil dinas, dan bermacam-macam tunjangan lainnya (ekstrinsik). Hilangnya faktor-faktor ini dapat menyebabkan timbulnya ketidakpuasan dan absennya pegawai, bahkan dapat menyebabkan pegawai yang keluar. Faktor-faktor pemeliharaan ini perlu mendapat perhatian yang wajar dari pimpinan agar kepuasan dan kegairahan kerja bawahan dapat ditingkatkan. Sedangkan faktor motivasi menyangkut kebutuhan psikologis seseorang. Kebutuhan ini adalah perasaan sempurna dalam melaksanakan pekerjaan. Faktor motivasi ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi pegawai secara langsung berkaitan dengan pekerjaan (intrinsik).

Maslow tentang teori motivasi, menjelaskan: “Kebutuhan manusia dibagi menjadi lima bagian yang tersusun dalam suatu hirarki” (Buchari Alma, 2006:74). Kelima kebutuhan itu didefinisikan sebagai berikut:
a.      Physiological Needs (kebutuhan fisik dan biologi). Yang termasuk kebutuhan ini adalah makan, minum, perumahan, dan lain-lain. Dalam organisasi, kebutuhan ini dapat berupa gaji, cuti, bantuan perawatan kesehatan, pemberian insentif berupa honorarium, tersedianya poliklinik dan lain-lain.
b.     Safety and Security Needs (kebutuhan keselamatan dan keamanan). Yang termasuk dalam safety dan security needs adalah bebas dari ancaman, yakni aman dari ancaman atau lingkungan. Dalam organisasi, kebutuhan ini dapat berupa adanya koperasi, kenaikan pangkat, gaji pegawai yang lancar, asuransi kesehatan, taspen, jaminan pensiun dan kondisi kerja yang aman.
c.      Affiliation or Acceptance Needs or Belongingness (kebutuhan sosial). Yang termasuk kebutuhan ini adalah kebutuhan akan teman, cinta dan memiliki. Dalam organisasi, kebutuhan ini dapat berupa kelompok kerja, team baik secara formal maupun informal, kegiatan di bidang olah raga dan kesenian, pertemuan keluarga antar pegawai dan tabungan Pegawai 
d.     Esteem or Status Needs (kebutuhan akan penghargaan atau prestise). Yang termasuk kebutuhan ini adalah kebutuhan akan penghargaan diri dan penghargaan dari orang lain. Dalam organisasi, yang termasuk kebutuhan ini adalah reputasi diri pengakuan, gelar, promosi, penataran bagi pegawai dan pemilihan pegawai teladan.
e.      Self Actualization Needs (aktualisasi diri). Yang termasuk kebutuhan ini adalah kebutuhan untuk mewujudkan atau mengaktualisasikan diri sendiri dengan memaksimumkan penggunaan kemampuan, keahlian dan potensi.

Menurut Maslow, pada dasarnya manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang paling penting baginya pada suatu waktu tertentu. Adanya ketidak-seimbangan kebutuhan menyebabkan timbulnya dorongan motivasi. Kebutuhan manusia berjenjang dan manusia cenderung memenuhi kebutuhan yang paling dasar sebelum meningkat pada pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan manusia dikelompokkan ke dalam lima tingkatan hierarki menurut kepentingannya yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Lebih jelasnya, lihat pada gambar berikut ini.


Abah Opar : Motivasi untuk memenuhi kebutuhan dasar


Berdasarkan gambar di atas, manusia akan berusaha memenuhi kebutuhannya yang paling mendasar yaitu kebutuhan fisiologis. Apabila sudah terpenuhi baru beralih pada tahapan berikutnya. Tiga kebutuhan pertama dikelompokkan sebagai kebutuhan difesiensi atau kebutuhan urutan yang lebih rendah. Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan primer seperti pangan, sandang dan papan. Jika kebutuhan ini sudah terpenuhi, kebutuhan kedua akan muncul yaitu kebutuhan keamanan yang berkaitan dengan menjaga lingkungan aman dimana orang bebas dari ancaman. Kebutuhan sosial merupakan kebutuhan untuk mempengaruhi, mencintai, dan berekspresi seksual. Ketiadaan kawan atau orang yang dicintai dapat mengakibatkan penyesuaian psikologis yang serius. Dua kebutuhan berikutnya tergolong sebagai kebutuhan pertumbuhan atau kebutuhan urutan yang lebih tinggi. Jika kebutuhan yang lebih rendah sudah terpenuhi maka kebutuhan akan harga diri dan percaya diri terhadap orang lain akan timbul. Kebutuhan harga diri termasuk hasrat berprestasi, prestise, pengakuan dan perhatian dari orang lain. Kebutuhan aktualisasi diri meliputi pemuasan diri. Aktualisasi diri dapat diekspresikan dengan cara yang berbeda-beda. Satu hal yang patut dicatat dari Teori Maslow adalah pemenuhan kebutuhan itu dilakukan secara bertahap bergerak ke atas. Sebelum kebutuhan yang paling dasar terpenuhi, manusia tidak akan bergerak ke tahap kebutuhan berikutnya.

Mc Clelland mengemukakan tentang teori motivasi kebutuhan berprestasi adalah bahwa: “Kekuasaan, penghargaan dan prestasi adalah motivasi yang kuat dalam setiap individu” (Alma, 2006:81). Mc Celland melukiskan motivasi sebagai: “Need for power, need for affiliation, dan Need for achievement”. Ketiga kebutuhan tersebut telah terbukti merupakan unsur-unsur penting yang ikut prestasi pribadi dalam berbagai situasi kerja dan cara hidup. Untuk lebih jelasnya, jenis motivasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.      Need for power, yaitu orang yang mempunyai motivasi kekuasaan yang tinggi. Terdiri dari dua macam kekuasaan, yaitu:
Kekuasaan menurut selera tertentu dengan membesar-besarkan diri, meremehkan pengikut, memperlakukan bawahan sebagai bidak, bersifat mengancam, dan Kekuasaan yang disosialisasikan, dipakai demi kepentingan pengikut, merumuskan tujuan yang menguntungkan kelompok, mengilhami mereka untuk soal-soal kecil demi kebaikan, konsultasi bawahan dan atasan untuk mencapai sasaran/tujuan, bersifat sebagai katalisator.
b.     Need for affiliation, yaitu orang yang mempunyai motivasi kerjasama (affiliasi) yang tinggi. Pada umumnya berciri: bersifat sosial, suka berinteraksi, bersikap merasa ikut memiliki (bergabung dalam kelompok), mereka menginginkan kepercayaan yang lebih jelas dan tegas, cenderung mencoba untuk mendapatkan saling pengertian bersama, bersedia berkonsultasi, menyenangi saling adanya hubungan persahabatan.
c.      Need for achievement, yaitu orang yang mempunyai motivasi prestasi yang tinggi. Secara umum mereka mempunyai ciri-ciri: mereka menjadi bersemangat sekali apabila unggul, menentukan tujuan secara realistik, mau bertanggung jawab sendiri mengenai hasilnya, memilih tugas yang menantang dan menunjukkan perilaku yang berinisiatif dari yang lain, menghendaki umpan balik konkrit terhadap prestasi mereka.

Lebih lanjut, Mc Clelland menguraikan bahwa motivasi prestasi seorang usahawan tidak semata-mata ingin mencapai keuntungan demi keuntungan sendiri, akan tetapi karena ia mempunyai keinginan yang kuat untuk berprestasi. Keuntungan hanyalah suatu ukuran sederhana yang menunjukkan seberapa baik pekerjaan telah dilakukan walaupun hal ini tidak sepenting tujuan itu sendiri. Menurut Mc Clelland, bahwa seseorang dianggap mempunyai motivasi prestasi tinggi apabila ia mempunyai keinginan untuk berprestasi lebih baik dari pada yang lain dalam banyak situasi.

Dalam teori pengharapan menurut Vroom dikemukakan, bahwa: “Keinginan seseorang untuk menghasilkan sesuatu sangat bergantung pada tujuan khusus yang ingin dicapainya dan persepsi atas tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan tersebut” (Alma, 2006:78). Produktivitas hasil yang dicapainya tersebut merupakan alat pemuas bagi seseorang. Produktivitas adalah alat pemuas bagi seseorang. Produktivitas adalah alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan, oleh sebab itu bila ingin memotivasi seseorang, maka kepadanya perlu diberikan pengertian tujuan pribadi, hubungan usaha dan tindakan antar tindakan dan hasil keputusan karena tercapainya tujuan tertentu.

Sementara pengertian teori motivasi menurut Mc Gregor (Sastrodiningrat, 2007:48-49), dikemukakan bahwa:
Menggambarkan dua teori tentang manajemen dan implikasinya bagi motivasi yaitu teori X dan teori Y.
Dalam teori X mempunyai lima premis, yaitu:
1.     Pada umumnya manusia dari wataknya tidak suka untuk bekerja
2.     Kebanyakan manusia tidak bersemangat dan membutuhkan pendorong berupa ongkos untuk membuat mereka mau bekerja
3.     Kebanyakan manusia lebih suka diperintah apa yang harus dilakukan
4.     Kebanyakan manusia menolak adanya perubahan
5.     Kebanyakan manusia mudah tertipu dan tidak cerdas.

Dalam teori Y mempunyai enam premis, yaitu:
1.     Pada umumnya manusia mau belajar, tidak hanya menerima tetapi juga mencari tanggung jawab
2.     Mempunyai kemampuan, kreativitas dan daya imajinasi memecahkan masalah
3.     Bekerja adalah kodrat manusia sama halnya bermain atau beristirahat
4.     Pengendalian ekstern dan hukuman bukan satu-satunya cara untuk mencapai tujuan organisasi
5.     Keterkaitan pada tujuan organisasi adalah fungsi dari penghargaan yang diterima karena prestasi pegawai dalam pencapaian tujuan itu
6.     Organisasi seharusnya memberikan kemungkinan orang untuk mewujudkan potensinya dalam pencapaian tujuan.

Sebagaimana uraian di atas, maka dimensi motivasi kerja Pegawai   akan berdasarkan konsep Maslow, bahwa motivasi kerja Pegawai   terdiri dari lima indikator, yaitu: kebutuhan fisik dan biologi, kebutuhan keselamatan dan keamanan), kebutuhan sosial), kebutuhan akan penghargaan atau prestise, dan aktualisasi diri.

Disiplin Kerja Pegawai 

Disiplin berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata “disciplina” yang berarti latihan atau kinerja kesopanan dan kerokhanian serta pengembangan tabiat. Banyak orang memberikan pengertian disiplin sebagai suatu kondisi jika pegawai selalu datang dan pulang tepat pada waktunya. Sebenarnya gambaran ini sangat keliru, sebab apa yang digambarkan itu hanyalah salah satu unsur yang dituntut oleh organisasi tersebut.

Manihuruk (2008:150) menjelaskan, bahwa: “Disiplin adalah keharusan untuk mentaati segala peraturan perundang-undangan, peraturan kedinasan dan peraturan dari atasan yang berwenang”.

Prijodarminto (2008:23) mengemukakan sebagai berikut: “Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban”.

Nitisemito (2007:199) mengemukakan, bahwa: “Disiplin merupakan suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan dari organisasi, baik tertulis maupun tidak tertulis”.

Rivai (2008:444) mengatakan, bahwa: “Disiplin kerja adalah suatu alat yang digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan pegawai agar mereka bersedia untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku”.

Werther & Davis (2007), yang dikutip oleh Marwansyah dan Mukaram (2000:243), mengemukakan bahwa: “Disiplin adalah tindakan manajemen yang mendorong terciptanya ketaatan pada standar-standar organisasi”. Hal ini dapat diartikan bahwa jika di dalam satuan kerja efektivitas dan efisiensinya rendah, kinerja pegawai dan organisasinya juga rendah, maka hal ini membuktikan dalam satuan kerja tersebut tidak ada disiplin kerja.

Siswanto (2006:287) menjelaskan pemahaman disiplin sebagai berikut:
Disiplin diartikan sebagai suatu sikap tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan perusahaan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya.

Mondy dan Noe (2006), yang dikutip Marwansyah dan Mukaram (2000:243), mendefinisikan disiplin sebagai: “The state of employee self control and orderly conduct and indicates the extent of genuine team work with an organization”.

The Liang Gie (1997:96) mengemukakan, bahwa: “Disiplin adalah suatu keadaan tertib dimana orang-orang tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang hati”.

Moekijat (2006:26) mendefinisikan kedisiplinan adalah sebagai: “Keinginan dan kesadaran untuk mentaati peraturan-peraturan perusahaan dan norma-norma sosial”.

Moenir (2006:47) menjelaskan, bahwa: “Disiplin merupakan suatu sikap yang mencerminkan ketaatan dan ketepatan terhadap suatu aturan”.

Moekijat (2006:26) menjelaskan, bahwa: “Kedisiplinan sebagai keinginan dan kesadaran untuk mentaati peraturan-peraturan perusahaan dan norma-norma sosial”.

Admosudirdjo (2006:64) mengemukakan pengertian disiplin sebagai berikut:
Satuan sikap mental (state of mind, mental attitude) tertentu yang merupakan sikap taat dan tertib. Suatu pengetahuan (knowledge) tingkat tinggi tentang sistem atau norma-norma, kriteria, standar, yang menimbulkan kesadaran yang secara wajar menunjukkan kesungguhan hati, pengertian dan kesadaran untuk mentaati segala apa yang diketahui secara cermat dan tertib.

Dengan demikian wujud disiplin kerja secara konkrit dapat dilihat dari sikap dan perilaku pada pegawai nya. Rivai (2008:444) memberikan contoh wujud disiplin kerja, sebagai berikut: “Beberapa pegawai terbiasa terlambat untuk bekerja, mengabaikan prosedur keselamatan, melalaikan pekerjaan detail yang diperlukan untuk pekerjaan mereka, tindakan yang tidak sopan ke pelanggan, atau terlibat dalam tindakan yang tidak pantas”. Sehingga, seorang pegawai yang dikatakan memiliki disiplin kerja yang tinggi jika yang bersangkutan konsekuen, konsisten, taat asas, bertanggung jawab atas tugas yang diamanahkan kepadanya.

Sementara Levine, yang dikutip Soejono (2006:72), mengemukakan sebagai berikut:
Umumnya disiplin yang sejati dapat terwujud apabila pegawai datang di kantor dengan teratur dan tepat waktunya, apabila mereka berpakaian serba baik dan rapi pada saat pergi ke tempat pekerjaannya, apabila mereka mempergunakan bahan-bahan dan peralatan dengan hati-hati, apabila mereka menghasilkan jumlah, kualitas dan kinerja yang memuaskan dan mengikuti cara-cara yang ditentukan oleh kantor atau perusahaan, dan apabila mereka menyelesaikan pekerjaan dengan semangat baik.


Dengan demikian disiplin kerja Pegawai   berkenaan dengan ketaatan sikap tingkah laku dan perbuatan Pegawai   yang sesuai dengan peraturan organisasi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya.

Ketaatan terhadap kewajiban dan larangan yang telah ditetapkan dengan organisasi adalah merupakan suatu tindakan disiplin kerja. Kewajiban pada dasarnya adalah merupakan segala sesuatu yang wajib diamalkan atau harus dilakukan, atau tidak boleh tidak harus dilakukan atau dipenuhi. Jadi, kewajiban pegawai adalah segala sesuatu ketentuan-ketentuan yang mengharuskan pegawai melakukan kewajiban-kewajibannya, yaitu berupa tugas dan tanggung jawab yang telah dibebankan kepadanya sesuai dengan peraturan organisasi yang berlaku. Sedangkan larangan, pada dasarnya merupakan perintah melarang sesuatu perbuatan, atau memerintah supaya jangan melakukan sesuatu. Jadi, larangan adalah merupakan perintah terhadap Pegawai   agar tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketidaktaatan terhadap kewajiban dan larangan yang telah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan adalah merupakan suatu tindakan pelanggaran disiplin. Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan atau perbuatan Pegawai   yang melanggar ketentuan-ketentuan disiplin pegawai, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja.

Oleh karenanya, sebuah unit organisasi atau lembaga dikatakan baik apabila pegawai nya mematuhi dengan kesadaran penuh segala aturan dan norma-norma kerja yang mengaturnya. Ini berarti disiplin sebagai suatu sikap yang menunjukkan kesesuaian terhadap peraturan. Dan setiap organisasi harus berupaya seoptimal mungkin untuk mewujudkan disiplin kerja yang tinggi bagi para Pegawai   di lingkungannya, dengan tujuan utama untuk memberikan pelayanan yang optimal dalam peningkatan mutu kinerja.

Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh setiap organisasi atau lembaga berkaitan dengan masalah disiplin kerja pegawai, sebagai berikut:
a.      Menegakkan disiplin kerja Pegawai   merupakan syarat dasar bagi organisasi atau lembaga untuk meningkatkan mutu kerja, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
b.     Setiap pemimpin atau lembaga wajib secara nyata dan terus menerus memberikan contoh, tauladan dan bimbingan kepada Pegawai nya tentang cara-cara bekerja yang baik dan tingkah laku yang sopan, baik di dalam maupun di luar kantor.
c.      Setiap pemimpin atau lembaga dan Pegawai   maupun staf wajib untuk menjalankan dengan tertib segala ketentuan dan peraturan.


Terdapat indikator penting dalam disiplin kerja Pegawai, yaitu ketaatan. Ketaatan berasal dari kata “taat” yang artinya kurang lebih patuh, penurut, yang dilakukan secara sadar, ikhlas, dan bersedia menerima keputusan lembaga. Pada umumnya seseorang akan merasa bersalah, takut dicela oleh masyarakat atau lembaga dimana ia bersandar dalam kehidupannya, jika ia tidak taat terhadap ketentuan yang berlaku atau ia tidak taat pada peraturan yang dianut oleh masyarakat atau lembaga dimana ia menjadi anggotanya. Ketentuan atau peraturan itu adalah merupakan refleksi ikatan antar anggota dalam suatu lembaga atau institusi. Di bidang hukum, peraturan adalah hukum. Ali (2007:131) mengungkapkan, bahwa: “Beberapa sosiolog Jepang menegaskan bahwa sebagian orang Jepang membenci hukum, dimana mereka itu meyakini bahwa seluruh problem masyarakat merupakan buatan hukum sendiri”. Selanjutnya, Ali menjelaskan, bahwa kendati demikian, sebagian besar orang Jepang berusaha tunduk pada hukum, tidak disebabkan oleh pertimbangan bahwa seorang warga negara harus mentaati hukum, akan tetapi disebabkan karena mereka mempercayai bahwa otoritas yang ada dalam masyarakatnya mengharapkan mereka untuk mengikuti peraturan-peraturan yang telah diumumkan dan disebar-luaskan demi kemanfaatan mereka juga. Pada intinya, Ali (2007:191) menyimpulkan, bahwa: “Ketaatan hukum memang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan perundang-undangan di dalam masyarakat”.

Ketaatan hukum pada hakekatnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang peraturan yang ada atau tentang peraturan yang diharapkan ada. Ketaatan itu sendiri menurut Ali (2007:193) masih dapat dibedakan kualitasnya ke dalam tiga jenis, yaitu:
1.     Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu peraturan hanya karena ia takut terkena sanksi.
2.     Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu peraturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak.
3.     Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu peraturan benar-benar karena ia merasa peraturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.

Kapan suatu peraturan dianggap tidak efektif berlakunya, jawabannya tentu saja jika sebagian besar anggota tidak mentaatinya. Akan tetapi, jika sebagian besar anggota terlihat mentaati peraturan, maka ukuran atau kualitas efektivitas peraturan itu pun masih dapat dipertanyakan. Dengan kata lain, mengetahui adanya tiga jenis ketaatan di atas, maka tidak dapat sekedar menggunakan ukuran ditaatinya suatu peraturan sebagai bukti efektifnya suatu peraturan, paling tidak juga harus ada perbedaan kualitas keefektifan suatu peraturan. Semakin banyak anggota yang mentaati suatu peraturan hanya dengan ketaatan yang bersifat compliance atau identification saja, bukan berarti kualitas keefektifan peraturan itu masih rendah. Sebaliknya, semakin banyak anggota yang mentaati suatu peraturan dengan ketaatan yang bersifat internalization, maka semakin tinggi kualitas efektivitas peraturan.

Dengan demikian, indikator disiplin kerja Pegawai   akan berkenaan dengan ketaatan yang bersifat compliance, ketaatan yang bersifat identification, dan ketaatan yang bersifat internalization. Sedangkan sanksi pada dasarnya sangat berhubungan dengan peraturan disiplin yang dimuat dalam peraturan di bidang kepegawai an. Moenir (2006:182) mengemukakan, bahwa: “Sanksi terkait erat dengan disiplin, sehingga untuk mewujudkan disiplin yang baik dapat melalui peraturan yang sedapat mungkin jelas hubungannya dengan adanya sanksi/hukum”.

Wojowasito dan Wasito (2006:185) menguraikan definisi sanksi artinya “Suatu tindakan memaksa”.

Ali (2007:185) mengemukakan, bahwa:”Sanksi adalah ketentuan yang memaksa pejabat yang berwenang untuk menindak seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap kaidah hukum, kaidah organisasi, kaidah moral, kaidah kesopanan, kaidah agama, dan lain-lain”.

Soekanto (2006:83) mengemukakan, bahwa:
Secara konvensional, sanksi adalah tindakan menghukum yang lazimnya hukuman berupa penderitaan, sehingga akibatnya pada perilaku serta merta akan mengikutinya. Secara umum, bentuk-bentuk hukuman adalah misalnya denda, hukuman badan, pencabutan hak untuk menjadi anggota Angkatan Bersenjata, pemecatan, dapat juga berupa penyiksaan.

Rivai (2008:450-451) menjelaskan ada beberapa tingkat dan jenis sanksi pelanggaran kerja yang umumnya berlaku dalam suatu organisasi, yaitu:
1.     Sanksi pelanggaran ringan, dengan jenis: teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis.
2.     Sanksi pelanggaran sedang, dengan jenis: penundaan kenaikan gaji, penurunan gaji, dan penundaan kenaikan pangkat.
3.     Sanksi pelanggaran berat, dengan jenis: penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, pemberhentian, dan pemecatan.

Dalam menentukan sanksi yang akan dijatuhkan haruslah dipertimbangkan dengan seksama bahwa sanksi itu setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan, sehingga sanksi dapat diterima oleh rasa keadilan. Purbacaraka dan Halim (2006:6) mengemukakan, bahwa:
Keadilan itu adalah suatu nilai yang nampak sebagai ketenangan dan ketentraman seseorang dalam menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya dalam hukum. Suatu keadaan dikatakan adil bila kejadian merupakan keleluasaan positif yang menjamin kebebasan setiap orang untuk menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya.

Nitisemito (2002:201) menguraikan bahwa untuk menegakkan disiplin, tidak cukup dengan ancaman-ancaman saja, tetapi untuk menegakkan disiplin itu perlu jaminan, yaitu tingkat kesejahteraan. Tanpa tingkat kesejahteraan, disiplin akan sulit untuk dilaksanakan dan para pegawai akan berusaha untuk mencari pekerjaan atau sambilan di tempat lain. Lebih lanjut,

Nitisemito (2002:201) juga berpendapat bahwa selain peningkatan kesejahteraan, untuk menegakkan disiplin perlu adanya ketegasan bagi mereka yang melakukan tindakan yang tidak disiplin, kita jangan sampai membiarkan suatu pelanggaran yang kita ketahui tanpa suatu tindakan atau membiarkan pelanggaran tersebut berlarut-larut tanpa adanya tindakan yang tegas.

Disamping perlu adanya jaminan yang layak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka menegakkan disiplin, sebagaimana diutarakan oleh Heidjarahman dan Suad Husnan (2006:228), yaitu bahwa:
Untuk menegakkan disiplin diperlukan tindakan, baik yang positif maupun negatif. Tindakan yang positif adalah dengan cara memberi nasehat kepada para pegawai untuk kebaikan di masa yang akan datang, sedangkan tindakan yang negatif dapat berupa: memberikan pernyataan lisan, memberikan pernyataan tertulis, dihilangkan sebagian haknya, didenda, dirumahkan sementara, diturunkan pangkatnya, atau dipecat.

Menurut Rivai (2008:444), terdapat empat perspektif daftar yang menyangkut disiplin kerja, yaitu:
1.     Disiplin retributif, yaitu berusaha menghukum orang yang berbuat salah
2.     Disiplin korektif, yaitu berusaha membantu pegawai mengoreksi perilakunya yang tidak tepat.
3.     Perspektif hak-hak individu, yaitu berusaha melindungi hak-hak dasar individu selama tindakan-tindakan disipliner.
4.     Perspektif utilitarian, yaitu berfokus kepada penggunaan disiplin hanya pada saat konsekuensi-konsekuensi tindakan disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya.


Lebih lanjut, Rivai (2008:444) mengemukakan, bahwa: “Terdapat tiga konsep dalam pelaksanaan tindakan disipliner yaitu aturan tungku panas, tindakan disiplin progresif, dan tindakan disiplin positif”. Pendekatan-pendekatan aturan tungku panas dan tindakan disiplin korektif terfokus pada perilaku masa lalu. Sedangkan pendekatan disiplin positif berorientasi ke masa yang akan datang dalam bekerja sama dengan para pegawai untuk memecahkan masalah-masalah sehingga masalah itu tidak timbul lagi.

Setiap pimpinan atau lembaga harus dapat memastikan bahwa Pegawai   tertib dalam tugas. Dalam konteks disiplin, maka keadilan harus dirawat dengan konsisten. Jika Pegawai   menghadapi tantangan tindakan disipliner, pemberi kerja harus dapat membuktikan bahwa Pegawai   yang terlibat dalam kelakuan yang tidak patut dihukum. Untuk mengelola disiplin diperlukan standar disiplin yang digunakan untuk menentukan bahwa Pegawai   telah diperlakukan secara wajar, melalui prosedur minimum, aturan komunikasi dan ukuran capaian. Pegawai   yang melanggar aturan diberi kesempatan untuk memperbaiki perilaku mereka. Menurut Rivai (2008:451-452), sebagai suatu model bagaimana tindakan disipliner harus diatur adalah:
1.     Apabila seorang pegawai melakukan suatu kesalahan, maka pegawai harus konsekuen terhadap aturan pelanggaran
2.     Apabila tidak dilakukan secara konsekuen berarti pegawai tersebut melecehkan peraturan yang telah ditetapkan
3.     Ke dua hal di atas akan berakibat pemutusan hubungan kerja dan pegawai harus menerima hukuman tersebut.



Job performance is a result of work achieved in executing the tasks assigned to them based on skills, experience and sincerity as well as time


Abah Opar Pengaruh Motivasi dan Kedisiplinan Kerja terhadap Kinerja Suatu Organisai

Kinerja Pegawai 

Secara umum, istilah kinerja dapat diartikan sebagai perbuatan atau prestasi kerja. Kinerja dapat pula berarti perbuatan yang berdaya guna. Sedangkan pelakunya yang melakukan suatu kegiatan, dapat berbentuk orang dan atau lembaga. Sehingga dikenal adanya istilah kinerja individu yaitu hasil kerja dari orang perorangan, kinerja tim yang merupakan hasil kerja dari sekelompok individu yang tergabung dalam tim kerja, kinerja manajer yang merupakan hasil kerja dari manajer; dan kinerja badan usaha yang merupakan hasil kerja dari badan usaha yang bersangkutan, dan sebagainya.

Lembaga Administrasi Negara (2006:3) mengemukakan, bahwa: “Kinerja merupakan terjemahan dari istilah Inggris “Performance”, yang berarti prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, atau hasil kerja/unjuk kerja/ penampilan kerja”.

Gibson (1997:93) menjelaskan pengertian kinerja sebagai: “Job performance is the desired result of any employee’s behavior. Performance related behaviors are directly associated with job task that need to be accomplished to achieve a job’s objectives”.

Scribner, yang dikutip oleh Suyadi Prawirosentono (2006:2), menjelaskan, bahwa:
Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.

Lucio and Macnneil (1999:248) mengatakan, bahwa: “Kinerja sebagai terjemahan dari kata performance, dapat diartikan sebagai “Kemampuan yang menunjukkan kesungguhan melaksanakan suatu pekerjaan”.

Prasetyo Irawan (2007:1) menjelaskan sebagai berikut: “Kinerja sebagai hasil kerja seseorang pekerja, sebuah proses manajemen, atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat ditunjukkan buktinya secara konkret dan dapat diukur dibandingkan dengan tolok ukur yang telah ditentukan”.

Pegawai   akan memiliki kinerja yang baik apabila yang bersangkutan memahami akan fungsi dan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, seorang Pegawai   harus memiliki bekal atau pengetahuan yang luas tentang profesionalnya sehingga tahu betul tentang tugas yang mesti dilakukannya, sehingga Pegawai   dapat membedakan dan mengerti pada prioritas pekerjaan yang harus dan tidak harus dikerjakan. Dengan demikian, untuk menunjukkan kinerja yang baik tentu saja diperlukan target-target penguasaan keterampilan dan kemampuan-kemampuan tertentu bagi seorang pegawai seperti menguasai kompetensi dasar pekerjaan. Sehingga, dari aspek personal diperlukan adanya tanggung jawab dan kesadaran yang mendalam untuk menciptakan suatu kinerja yang baik, sebab dapat dikatakan bahwa kinerja yang itu berkaitan dengan kesadaran Pegawai   terhadap pekerjaan mereka.

Dengan demikian, kinerja Pegawai   adalah hasil kerja yang dicapai oleh Pegawai   dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya pada suatu organisasi, yang dilakukan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.

Menilai dan memahami kinerja Pegawai   tidak terlepas dari individu Pegawai   sebagai subyek suatu pekerjaan dan tingkat prestasi kerja yang dicapai pegawai. Hal ini secara tidak langsung dipengaruhi salah satunya adalah kualitas kerja Pegawai. Dengan kualitas kerja yang baik dari Pegawai   diharapkan dapat tercapainya suatu prestasi yang mendorong terhadap keberhasilan instansi atau lembaga dalam mencapai sasarannya. Hasibuan (2006:105) menjelaskan, bahwa: “Prestasi kerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”. Semakin tinggi faktor tersebut, semakin besarlah prestasi kerja Pegawai   yang bersangkutan. Sehingga, kinerja Pegawai   mengandung arti bagaimana pencapaian hasil kerja memberikan kepuasan dan prestasi kerja yang baik, memberikan kemajuan dan tanggung jawab Pegawai   terhadap pekerjaannya sehingga terbentuk pribadi Pegawai   yang tangguh.

Dalam banyak hal, terdapat hubungan positif antara kepuasan kerja dengan prestasi kerja.
Handoko (2006:195-196) berpendapat, bahwa: “Kepuasan kerja yang lebih tinggi dihasilkan oleh prestasi kerja”. Bila penghargaan tersebut dirasakan adil dan memadai, maka prestasi kerja akan meningkat, karena mereka menerima penghargaan dalam proporsi yang sesuai dengan prestasi kerjanya. Di lain pihak, bila penghargaan dipandang tidak mencukupi untuk suatu tingkat prestasi kerja mereka, maka ketidakpuasan kerja cenderung terjadi. Kondisi ini selanjutnya menjadi umpan balik yang akan mempengaruhi prestasi kerja di waktu yang akan datang. Jadi, hubungan prestasi dan kepuasan kerja menjadi suatu sistem yang berlanjut.

Kepuasan kerja merupakan keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para Pegawai   memandang pekerjaan mereka. Dengan demikian kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini nampak dalam sikap positif Pegawai   terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.

Manajemen harus senantiasa memonitor kepuasan kerja, karena hal itu mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja, keluhan-keluhan dan masalah-masalah personalia vital lainnya.

Tolok ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada, karena setiap individu Pegawai   berbeda standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja ini hanya diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, dan pergantian (turn over) kecil, maka secara relatif kepuasan kerja pegawai baik, tetapi sebaliknya jika kedisiplinan, moral kerja dan turn over pegawai besar, maka kepuasan kerja pegawai di suatu organisasi akan berkurang.

Hasibuan (2006:223) menguraikan, bahwa kepuasan kerja dipengaruhi faktor-faktor:
1.     Balas jasa yang adil dan layak
2.     Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian
3.     Berat-ringannya pekerjaan
4.     Suasana dan lingkungan pekerjaan
5.     Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan
6.     Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya
7.     Sifat pekerjaan monoton atau tidak.


Terdapat faktor keterkaitan yang saling mempengaruhi antara kepuasan kerja dengan faktor-faktor lainnya seperti kedisiplinan, umur pegawai, organisasi dan kepemimpinan. Kepuasan kerja mempengaruhi tingkat kedisiplinan pegawai. Artinya jika kepuasan diperoleh dari pekerjaan maka kedisiplinan pegawai baik, sebaliknya jika kepuasan kerja kurang tercapai dari pekerjaannya maka kedisiplinan pegawai rendah. Umur pegawai mempengaruhi kepuasan kerja. Pegawai yang masih muda, tuntutan kepuasan kerjanya tinggi, sedang pegawai tua tuntutan kepuasan kerjanya relatif rendah. Besar kecilnya organisasi mempengaruhi kepuasan kerja pegawai. Semakin besar organisasi, maka kepuasan kerja pegawai semakin menurun karena peranan mereka sendiri semakin kecil dalam mewujudkan tujuan. Organisasi yang kecil maka kepuasan kerja pegawai akan semakin besar, karena peranan mereka semakin besar dalam mewujudkan tujuan. Kepuasan kerja pegawai banyak dipengaruhi sikap-sikap pimpinan dalam kepemimpinannya. Kepemimpinan partisipasi memberikan kepuasan kerja bagi pegawai, karena pegawai ikut aktif dalam memberikan pendapatnya untuk menentukan kebijaksanaan perusahaan. Kepemimpinan otoriter mengakibatkan kepuasan kerja pegawai rendah.

Di sisi lain, ketrampilan seseorang individu untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan merupakan sebuah fungsi dari kemampuannya, sikapnya dan latihan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Sesuatu divergensi dalam salah satu diantara dua buah variabel tersebut dapat menimbulkan suatu divergensi dalam ketrampilan. Akan tetapi, walaupun demikian dapat dikatakan bahwa hasil pelaksanaan sesuatu pekerjaan tertentu (kinerja pegawai), merupakan produk dari kemampuan dan motivasi. Kemampuan digambarkan oleh kapabiltas manusia dan teknik, yang memberikan indikasi sampai seberapa jauh kemungkinan kinerja tersebut. Sampai seberapa jauh kapabilitas laten tersebut bisa diciptakan tergantung pada tingkat dimana individu dan atau kelompok dapat dimotivasikan untuk menghasilkan kemampuannya.

Kast dan Rosenzweig (2007:40) menjelaskan bahwa bentuk persamaan yang menyatakan hubungan antara kemampuan dan motivasi terhadap kinerja sebagai berikut:
P       =       f (a, m)
Dimana:
P       =       Performance
a        =       Ability (Kemampuan)
m       =       Motivation (Motivasi)

Terikatnya kemampuan kerja manusia dengan pribadi pegawai dengan perkataan lain keadaan yang menyebabkan bahwa individu pegawai merupakan pemikul kemampuan kerja. Kemampuan bekerja terikat pada pribadi sang pegawai. Keterikatan tersebut sehubungan dengan prestasi kerja mempunyai macam-macam konsekuensi. Pertama-tama, dapat dikatakan bahwa kapasitas yang dimiliki oleh seorang pegawai sama sekali tergantung pada sifat-sifatnya. Kapasitas kerja memiliki aspek kualitatif dan aspek kuantitatif. Aspek kualitatif berhubungan dengan kecakapan pekerja yang bersangkutan, sedangkan aspek kuantitatif berhubungan dengan jumlah kemampuan kerja pegawai yang dapat dicapainya.

Disamping itu, ada pula kesediaan bekerja, yakni tingkat atau derajat dengan apa pegawai yang bersangkutan ingin menggunakan kapasitasnya, baik dalam arti kualitatif maupun dalam arti kuantitatif yang sebagian besar tergantung dari sifat-sifat pribadinya. Dalam kaitannya dengan aspek kualitatif, kapasitas bekerja dapat dinyatakan bahwa hal tersebut pertama-tama ditentukan oleh sifat-sifat fisik dan psikis pegawai yang bersangkutan dan kedua oleh intelektualnya. Konstitusi badaniah yang ditentukan oleh keadaan kesehatan dan pula oleh umur pegawai yang bersangkutan, merupakan faktor fisik terpenting yang berbicara di sini.

Sifat-sifat psikis pegawai terutama tercerminkan pada keinginan pribadinya untuk mendapatkan penghargaan. Aspek intelektualnya tergantung pada bakat umumnya dan pula dari kinerja spesifik khususnya dan kinerja umum yang pernah dinikmatinya. Aspek kuantitatif kapasitas bekerja juga tergantung pada faktor-faktor sama yang menentukan aspek kualitatif kapasitas bekerja.

Dengan demikian kapasitas bekerja merupakan salah satu faktor (subyektif) yang menderterminasi kinerja. Winardi (2006:131-132) menjelaskan, bahwa:
Untuk mencapai prestasi kerja maksimal, syarat pertama yang harus dipenuhi adalah kesesuaian antara syarat-syarat (baik dalam arti kualitatif maupun dalam arti kuantitatif) yang ditetapkan untuk tugas-tugas yang akan dilaksanakan, dengan aspek kualitatif dan kuantitatif kapasitas bekerja di lain pihak.

Mengenai faktor-faktor yang menentukan kesediaan bekerja dapat dikatakan bahwa mereka mempunyai sifat lain, dan sebenarnya mereka tidak dapat dilepaskan dari determinan-determinan lain yang telah disebut. Akan tetapi, walaupun demikian dapat dikatakan bahwa kesediaan bekerja merupakan sebuah faktor subyektif murni.

Pada umumnya kesediaan bekerja pegawai individual juga ditentukan oleh tingkat moralitas dari kolektivitas kerja. Imbalan untuk tenaga kerja juga merupakan pengaruh penting atas prestasi kerja. Andaikata kapasitas bekerja baik dalam arti kualitatif maupun dalam arti kuantitatif merupakan sebuah prasyarat utama, dan sang pegawai diberi tugas sedemikian rupa, hingga untuk melaksanakannya ia harus memberikan maksimum kapasitasnya, maka kesediaannya untuk melakukan disamping faktor-faktor suyektif yang sudah disebut, juga akan tergantung dari imbalan untuk kemampuan kerjanya yang disiapkan.

Tolok ukur pencapaian kinerja berarti tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditentukan organisasi. Hal ini memiliki makna tercapainya efektivitas kerja organisasi yang merupakan pengukuran tercapainya sasaran dan tujuan tersebut. Siagian (2007:26) menjelaskan, bahwa:” Efektivitas kerja merupakan pekerjaan tepat pada waktunya yang telah ditetapkan, artinya apakah pelaksanaan sesuatu tugas dinilai baik atau tidak sangat tergantung bilamana cara melaksanakannya dan berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu”.

Sedangkan menurut pendapat F.X. Soedjadi (2007:37) dikemukakan sebagai berikut:
Pengertian efektivitas ditujukan untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan dengan tepat dalam arti target tercapai sesuai dengan waktu yang ditetapkan (target, misalnya angka produksi, ekspor, income bertambah, prosentase lulusan suatu atau lembaga bertambah, jumlah pegawai terdidik meningkat, jumlah keputusan yang dikeluarkan bertambah dan lain-lainnya). Namun target-targetnya yang telah tercapai itu tentu saja harus dihubungkan dengan mutunya.

Dengan demikian suatu kegiatan dapat dikatakan efektif apabila tindakan tersebut dapat menghasilkan produk yang bermutu tinggi yang dibarengi dengan ketepatan waktu yang dijadwalkan, anggaran yang direncanakan semula, dan alat-alat yang digunakannya. Dalam hal ini, efektivitas kerja lebih menekankan pada hasil dan mutu yang dicapai (produktivitas), jadwal pelaksanaan dan jumlah bahan, tenaga, biaya dan waktu yang dipergunakan dalam melaksanakan tugas tersebut. 

Steers (2007:56) menjelaskan bahwa unsur-unsur untuk mengukur tingkat efektivitas kerja adalah:
a.      Kemampuan menyesuaikan diri (keluwesan/fleksibilitas)
b.     Produktivitas
c.      Kepuasan kerja
d.     Perincian sumber daya.

Syarif (2006:87) mengatakan bahwa kriteria atau tolok ukur pencapaian hasil kerja (kinerja) atau efektivitas sebagai berikut:
1.     Jumlah, waktu
a.         Jumlah hasil kerja/pekerjaan yang diselesaikan

b.        Lama penyelesaian hasil kerja
2.     Mutu
a.            Keberhasilan hasil kerja
b.           Ketelitian hasil kerja
c.            Syarat-syarat teknis hasil kerja

d.           Keluhan terhadap hasil kerja
3.     Efisiensi
a.      Jumlah bahan yang dipakai dalam menyelesaikan hasil kerja
b.     Jumlah kegagalan dalam menyelesaikan kerja
c.      Jumlah hasil kerja yang dapat dimanfaatkan

d.     Jumlah hasil kerja yang dibuat tepat waktu dan anggarannya.

Jadi, keberhasilan kinerja pegawai   juga diukur melalui efektivitas dan efisiensi kerjanya, melalui penyelesaian tugas pekerjaan yang sesuai dengan rencana, yakni tepat waktu yang dijadwalkan, biaya dan tenaga, jumlah bahan yang digunakan untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya.

Pengukuran kinerja tersebut adalah proses mengkuantifikasikan secara akurat dan valid tingkat efisiensi dan efektivitas suatu kegiatan yang telah dilaksanakan dan membandingkannya dengan tingkat prestasi yang direncanakan. Konsep pengukuran kinerja meliputi: apa yang diukur, apa tujuan pengukuran, siapa yang mengukur, siapa yang menggunakan hasil pengukuran, kapan pengukuran dilakukan, dimana pengukuran dilakukan, bagaimana cara pengukurannya dan apa pemanfaatan hasil pengukuran.

Mulyadi dan Setyawan (2007:253) menyatakan, bahwa: “Penilaian kinerja diartikan sebagai penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan personelnya, berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya”.

Dessler (1997:2) menjelaskan pengertian penilaian prestasi kerja sebagai prosedur apa saja, yang meliputi:
a.      Penetapan standar kinerja
b.     Penilaian kinerja aktual pegawai
c.      Memberi umpan balik kepada pegawai dengan tujuan memotivasi orang tersebut untuk menghilangkan kemerosotan kerja atau terus bekerja lebih tinggi lagi.

Simamora (2008:416) mengemukakan, bahwa: “Penilaian prestasi kerja adalah proses dalam suatu organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu. Hal ini dilihat dari kontribusi pegawai pada instansi selama periode waktu tertentu”.

Ruky (2006:17) menjelaskan maksud dari penilaian prestasi kerja adalah suatu proses yang terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
a.      Membandingkan prestasi yang dicapai (aktual) dengan standar
b.     Menentukan bidang-bidang yang ada kelemahannya (jika ada)
c.      Mengembangkan dan mencari cara untuk memperbaiki kelemahan yang telah diketahui.

Penilaian kinerja memiliki peran yang sangat penting dalam rangka mengetahui apakah tujuan organisasi telah tercapai atau belum. Secara spesifik, penilaian kinerja memerankan beberapa fungsi dan memberikan manfaat. Penilaian kinerja akan memberi informasi yang sahih/valid tentang kinerja organisasi secara menyeluruh, baik berkaitan dengan kebijakan, strategi, program, ataupun kegiatan-kegiatan operasional organisasi. tingkat keberhasilan masing-masing komponen organisasi tersebut dapat terungkap melalui penilaian kinerja. Disamping itu, penilaian kinerja dapat digunakan sebagai ‘sinyal’ tingkat kepuasan pelanggan organisasi, dapat berfungsi untuk kritik dan klarifikasi terhadap berbagai dasar pertimbangan dalam upaya pengembangan suatu organisasi.

Penilaian kinerja juga dapat menjadi alat komunikasi antar komponen organisasi dalam rangka perbaikan kinerja organisasi, dan atau antara organisasi dengan pihak eksternal tentang prestasi organisasi selama ini. Penilaian kinerja juga dapat digunakan sebagai petunjuk peningkatan atau perbaikan yang perlu dilakukan organisasi terhadap kinerja.

Keberhasilan pengukuran kinerja sangat ditentukan seberapa tepat sistem pengukuran yang ditetapkan. Prinsip utama dalam pengukuran kinerja adalah mengukur hal yang tepat dengan cara yang benar. Mengukur hal yang tepat berarti bahwa substansi yang diukur telah dirancang dan dipastikan kesesuaiannya dengan konteks organisasi, baik dari segi tujuan, sasaran, ruang lingkup, lingkungan, program kerja, dan hal-hal lain yang relevan. Cara yang benar berarti bahwa teknik pengukuran telah mengikuti kaidah-kaidah umum cara pengukuran meliputi tersedianya standar, instrumen, petugas, penilaian yang memenuhi syarat akademik dan kewajaran.

Kerangka Pemikiran Terhadap Pengaruh Motivasi dan Kedisiplinan Kerja terhadap Kinerja Organisasi

Kekuatan organisasi terletak pada seluruh anggota organisasi, sehingga apabila anggota organisasi tersebut diperhatikan secara tepat dengan menghargai bakat mereka, mengembangkan kemampuan mereka, memperhatikan kesejahteraan mereka dan menggunakannya secara tepat, maka organisasi akan menjadi dinamis dan berkembang. Hal ini berarti bahwa tujuan organisasi hanya dapat dicapai jika para Pegawai   mempunyai gairah dan semangat kerja, mau memberikan kemampuannya mengerjakan pekerjaan, dan berkeinginan untuk mencapai prestasi kerja yang optimal.

Nitisemito (2002:239) mengemukakan, bahwa: “Kinerja pegawai dipengaruhi oleh motivasi kerja pegawai”. Julius, yang dikutip Soebagio Sastrodiningrat (2007:196) mengemukakan, bahwa: “Motivasi berarti membangkitkan motif, membangkitkan daya gerak atau menggerakkan seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau suatu tujuan”.

Dengan demikian motivasi seorang pegawai   tergantung kepada kekuatan motifnya. Kekuatan motif seorang pegawai   dapat berubah karena terpuaskan kebutuhan, dan karena adanya hambatan. Sebab, dalam memasuki suatu organisasi, setiap pegawai   secara implisit selalu membawa kebutuhan dan keinginannya masing-masing, baik yang positif maupun yang negatif. Sehingga dalam setiap organisasi selalu terdapat dua pola kepentingan, yaitu di satu pihak kepentingan organisasi yang dijelmakan dalam pencapaian tujuan organisasi, dan di lain pihak kepentingan masing-masing individu sebagai penjelmaan kebutuhan dan keinginan individual masing-masing anggota. Tingkat kepuasan dan pengabdian seorang pegawai   kepada organisasi dalam hubungan dengan kedua pola kepentingan di atas tergantung kepada sejauhmana kepentingan individu pegawai   bersesuaian dengan kepentingan organisasi. Kedua pola kepentingan ini tidak berarti salah satu perlu dikorbankan, karena tujuan organisasi tetap diarahkan kepada tercapainya tujuan organisasi, hanya cara pencapaiannya yang sejauh mungkin perlu disesuaikan dengan kepentingan para pegawai.

Disiplin kerja pegawai   mutlak diperlukan. Sebab, dengan disiplin yang baik dan tinggi, tujuan organisasi dapat diwujudkan sebagaimana yang diharapkan. Manihuruk (2008:150) menjelaskan, bahwa: “Disiplin adalah keharusan untuk mentaati segala peraturan perundang-undangan, peraturan kedinasan dan peraturan dari atasan yang berwenang”. Moenir (2006:47) menjelaskan, bahwa: “Disiplin merupakan suatu sikap yang mencerminkan ketaatan dan ketepatan terhadap suatu aturan”. Oleh karenanya, sebuah organisasi atau lembaga dikatakan baik apabila pegawainya mematuhi dengan kesadaran penuh segala aturan dan norma-norma kerja yang mengaturnya. Dan setiap organisasi atau lembaga harus berupaya seoptimal mungkin untuk mewujudkan disiplin kerja yang tinggi bagi para pegawai di lingkungannya, dengan tujuan utama untuk memberikan pelayanan yang optimal atau prima kepada organisasi, lembaga atau masyarakat dalam mutu kinerja.

Dalam pembahasan ini, motivasi dan disiplin kerja Pegawai   merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai. Motivasi dan disiplin kerja pegawai   merupakan variabel bebas (independen variable), sedangkan kinerja pegawai   merupakan variabel terikat (dependen variable). Secara lebih jelasnya, paradigma pembahasan dapat digambarkan sebagai berikut:



Dimana:
X1 = Motivasi kerja Pegawai 
X2 = Disiplin kerja Pegawai 
Y    = Kinerja Pegawai   
rx1 = Parameter yang menunjukkan hubungan besarnya pengaruh X1 terhadap Y
rx2 = Parameter yang menunjukkan hubungan besarnya pengaruh X2 terhadap Y
rx1x2y         = Parameter yang menunjukkan hubungan besarnya pengaruh X1-2 secara bersama-sama terhadap Y


Bagaimana Hipotesis Terhadap Pengaruh Motivasi dan Kedisiplinan Kerja terhadap Kinerja Organisasi

Dalam pembahasan ini, hipotesis pembahasan yang digunakan adalah hipotesis asosiatif sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah asosiatif, yaitu sebagai berikut:
1.     Terdapat pengaruh signifikan motivasi kerja pegawai   terhadap kinerja pegawai   di Suatu Organisasi atau Lembaga.
2.     Terdapat pengaruh signifikan disiplin kerja pegawai   terhadap kinerja pegawai   di Suatu Organisasi atau Lembaga.
3.     Terdapat pengaruh signifikan motivasi dan disiplin kerja pegawai   secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai   di Suatu Organisasi atau Lembaga.

4.     Dalam tahap ini akan diuiji hipotesis statistiknya dengan bentuk sebagai berikut:
a)     Ho :  p = 0 Tidak terdapat pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja pegawai   di Suatu Organisasi atau Lembaga..
Ha :  p ¹ 0 Terdapat pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja pegawai   di Suatu Organisasi atau Lembaga..

b)    Ho :  p = 0 Tidak terdapat pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja pegawai   di Suatu Organisasi atau Lembaga..
Ha :  p ¹ 0 Terdapat pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja pegawai   di Suatu Organisasi atau Lembaga..

c)     Ho :  p = 0 Tidak terdapat pengaruh motivasi dan disiplin kerja secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai   di Suatu Organisasi atau Lembaga..
Ha :  p ¹ 0 Terdapat pengaruh motivasi dan disiplin kerja secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai   di Suatu Organisasi atau Lembaga..

Itulah artikel yang Abah Opar posting kali ini tentang Pengaruh Motivasi dan Kedisiplinan Kerja terhadap Kinerja  semoga dapat bermanfaat untuk kita semua minimal sebagai knowledge bagi kita lantas dalam menyikapi  atau menyimpulkannya suka-suka kita yang penting dapat dipertanggungjawabkan serta memiliki nilai keutamaan dalam kehidupan. Selanjutnya silahkan baca juga khusus untuk anda artikel tentang:  Pengaruh Lingkungan Kerja dan Remunerasi Terhadap Kepuasan Kerjaterima kasih sudah berkunjung semoga mendapatkan apa yang saudaraku cari di website Abah Opar.

DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta, 2006.

Ali, Achmad. Manajemen dan Organisasi Pemerintahan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008.

Anoraga, Pandji, dan Sri Sayuti. Perilaku Keorganisasian. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2007.

Bastian. Manajemen dan Organisasi Pemerintahan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007.

Cahyono. Manajemen Sumberdaya Manusia. Badan Penerbit IPWI, 2006.

Davis, Gordon B. Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo, 2006.

Effendy, Ono Uchjana. Hubungan Insani. Bandung: CV Remadja Karya, 2005.

Ghozali, Imam. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006.

Gondokusumo, A.A. Komunikasi Penugasan. Jakarta: PT Gunung Agung, 2003.

Gibson. Organisasi dan Manajemen, Jakarta: Erlangga, 2004.

Handoko, T. Hani. Manajemen Personalia dan Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: BPFE, 2006.

Heidjarahman dan Suad Husnan. Manajemen. Yogyakarta: BPFE, 2003.

Hersey, Paul Kenneth H. Blanchard. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources. New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1998.




Pageviews Artcle

Rekomendasi Unuk Anda Baca

9 Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah

Education and Knowledge Update   Apa Saja Yang Termasuk 9 Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah itu ? Sahabatku beriku...

Comments
Comments