Search here

26 Feb 2018

Pengaruh Lingkungan Kerja dan Remunerasi Terhadap Kepuasan Kerja

Qank Opar Supranatural Pedagogic: Education and Knowledge Update


Adakah Pengaruh Lingkungan Kerja dan Remunerasi Terhadap Kepuasan Kerja? Seberapa besar pengaruhnya terhadap hasil kerja dan kemakmuran atau kepuasan pekerja. Untuk menjawab semua itu semestinya kita memahami duduk perkara atau persoalannya secara komprehensip. Berikut ini Abah Opar akan mengajak sahabatku untuk memahami dulu apa itu pengertian lingkungan kerja dalam suatu organisasi, lantas pengartian remunerasi menurut para ahli, dan bagaimana menentukan standar kepuasan kerja yang ideal.


The essence of the essence of an organization's leadership and the leadership element indicates a strong interaction between the leader and follower in this case members of the organization

Abah Opar: Pengaruh Lingkungan Kerja dan Remunerasi Terhadap Kepuasan Kerja

Pengertian Lingkungan Kerja Dalam Suatu Organisasi

Indonesia
Kita memahami bahwa lingkungan kerja memegang peranan penting dalam suatu organisasi , karena lingkungan kerja secara langsung dapat pula mempengaruhi keberhasilan dalam proses hasil kerja namun bagaimana dengan pengertian lingkungan kerja menurut para ahli?. Mari kita simak berikut ini penjelasan atau pendapat para ahli tentang Pengertian Lingkungan Kerja.

Akhyari (1996:39) mengatakan, bahwa: ”Lingkungan kerja adalah merupakan suatu lingkungan dimana para karyawan melaksanakan tugas dan kewajiban sehari-hari yang meliputi beberapa bagian, yaitu pelayanan karyawan, kondisi kerja, dan hubungan karyawan di dalam organisasi yang bersangkutan”.

Nitisemito (1998) mengemukakan, bahwa: ”Lingkungan kerja adalah sesuatu yang ada di sekitar pekerja dan dapat mempengaruhi dirinya dalam mengerjakan tugas-tugasnya yang dibebankan”.

Aswani (1999) menjelaskan, bahwa: ”Lingkungan kerja terdiri dari lingkungan kerja fisik dan sosial, yaitu meliputi kondisi kerja, ruangan, tempat, peralatan kerja, jenis pekerjaan, atasan, rekan kerja, bawahan, orang-orang di luar organisasi, budaya organisasi, kebijaksanaan, dan peraturan organisasi”. Selanjutnya dikatakan pula hasil pekerjaan merupakan pencerminan akhir dari perilaku kerja yang sangat dipengaruhi oleh pribadi pelaku dan kondisi lingkungan kerja, baik fisik maupun sosial. Proses ini dapat terjadi sebaliknya, yaitu antara kondisi lingkungan, baik maupun sosial, dengan kondisi pribadi pelaku yang saling berinteraksi yang mengandung unsur keterpengaruhan terhadap perilaku kerja dalam rangka memperoleh hasil akhirnya.

Gondokusumo (2003:34) mengemukakan pengertian lingkungan kerja sebagai berikut:
Lingkungan konkrit dan abstrak yang meliputi atau mengelilingi kerja seseorang, diantaranya mencakup:

1.     Dari pihak pimpinan
a.      Kebijaksanaan, program, prosedur dan pedoman
b.     Syarat-syarat kerja
c.      Alat-alat kerja dan persediaan bahan
d.     Tempat kerja
e.      Kepemimpinan

2.     Dari pihak karyawan
a.      Semangat
b.     Kerjasama dalam kelompok
c.      Kesediaan saling membantu
d.     Prestasi dan produktivitas karyawan lain.

Melihat uraian di atas, pemimpin lembaga atau suatu organisasi merupakan orang yang harus memiliki beberapa kelebihan diantara orang-orang yang ada di lingkungannya. Pemimpin harus memiliki beberapa kelebihan, baik dalam cara berpikir dan tingkat intelegensinya, kepekaan terhadap lingkungan, ketekunan atau keuletan maupun dalam bidang moral, akhlak serta kepribadiannya. Pemimpin yang efektif harus mampu memberikan pengarahan terhadap usaha semua pekerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Tanpa pimpinan, hubungan antara individu dengan tujuan organisasi akan menjadi lemah. Keadaan demikian sangat mengarahkan suatu situasi yang mengandung berbagai harapan dimana para individu bekerja untuk mencapai tujuannya sendiri sementara keseluruhan organisasi berbeda dalam keadaan tidak efisien dalam pencapaian tujuan.

Atmosudirdjo, yang dikutip oleh Masya (2000:158), menyatakan bahwa: “Pengertian pemimpin adalah orang yang mempengaruhi orang-orang lain agar orang-orang ini mau menjalankan apa yang dikehendakinya”.

Pamudji (1997:25) menjelaskan bahwa pemimpin adalah:
Orang yang berfungsi memimpin, atau orang yang membimbing atau menuntun. Di dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam kepustakaan muncullah istilah yang serupa dengan itu, kadang-kadang dipergunakan silih berganti seakan-akan tidak ada bedanya satu dengan yang lainnya yaitu pemimpin dan kepemimpinan.

Fairchild, yang dikutip oleh Kartono (2000:34), menyatakan sebagai berikut:
Pemimpin dalam pengertian luas ialah seseorang yang memimpin, dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, menunjukkan, mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain, atau melalui prestise kekuasaan atau posisi. Dalam pengertian terbatas, pemimpin ialah seorang yang membimbing persuasifnya dan akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para pengikutnya.

Mintzberg, yang dikutip oleh Saydam (2005:214-216), mengemukakan berbagai macam peran pemimpin, yaitu:
1.     Peran Antar Manusia
a.      Peran selaku tokoh. Peran ini menyebabkan setiap pempimpin mempunyai kewajiban untuk melakukan kegiatan yang bersifat seremonial (upacara), seperti meresmikan proyek-proyek, membuka upacara-upacara resmi, menyematkan tanda jasa dan sebagainya.
b.     Peran selaku pimpinan. Peran ini, menyebabkan seorang pemimpin bertanggungjawab terhadap pembinaan dan pengembangan para bawahannya, memotivasi dan meningkatkan semangat kerja serta berusaha menyelaraskan kebutuhan bawahan dengan kepentingan organisasi.
c.      Peran selaku penghubung. Peran ini akan menimbulkan kewajiban pada seorang pemimpin untuk melakukan hubungan dengan atasan, teman sejawat dan bawahan, serta dengan orang-orang di luar organisasi.

2.     Peran Informatif
Peran informatif yang dilakukan oleh seorang pemimpin  adalah peran seorang pemimpin dalam menerima dan mengirim informasi dalam rangka hubungan yang dijalankan dengan lingkungan sekitarnya.
a.      Peran selaku pemantau (monitor), berarti bahwa selaku pemimpin selalu memantau informasi dari berbagai arah untuk kepentingan unit kerja yang dipimpinnya.
b.     Peran selaku penyebar, berarti selaku pemimpin kadang-kadang perlu memberi informasi yang perlu diketahui oleh bawahannya (intern)
c.      Sedangkan perlu selaku HUMAS, karena ia kadang-kadang perlu pula memberi informasi kepada pihak-pihak luar (ekstern) tentang perkembangan unit kerjanya, macam program yang akan dilaksanakan dan sebagainya.  

3.        Peran Pembuat Keputusan
Peran selaku pembuat keputusan, berarti bahwa seorang pemimpin mempunyai kewajiban melakukan pengambilan keputusan untuk kelancaran mekanisme unit kerjanya. Keputusan yang diambil tentu saja berdasarkan informasi atau masukan (input) yang ada atau sudah dimilikinya selaku pemegang peran informatif.

Pemimpin suatu lembaga atau organisasi dengan kepemimpinannya adalah kegiatan yang harus dilakukan oleh seorang yang menduduki posisi sebagai pimpinan dalam suatu organisasi untuk memberikan pengaruh kepada para bawahannya, agar orang-orang tersebut mau/dapat melakukan tugas dan kegiatan secara bersama-sama dalam mencapai tujuan yang dikehendaki. Jadi kepemimpinan suatu Lembaga atau Organisasi  itu memiliki kemampuan yang sangat besar sekali dalam menjalankan roda organisasi, karena pemimpin itulah yang menjalankan dan menggerakkan orang-orang para bawahannya untuk dapat menjalankan tugas dan kegiatan yang dapat berdaya guna dan berhasil guna.

Unsur-unsur yang terkandung dalam kepemimpinan suatu Lembaga atau Organisasi  antara lain adalah sebagai berikut:
a. Leader adalah orang yang memimpin.
b. Pengikut adalah orang-orang yang dipimpin.
c. Organisasi yang bersangkutan.
d. Objective adalah sasaran yang ingin dicapai.
e. Lingkungan adalah nilai-nilai sosial, pertimbangan ekonomis dan politis.

Hakekat esensi kepemimpinan suatu Organisasi  dan unsur kepemimpinan menunjukkan adanya interaksi yang kuat antara pemimpin dengan pengikut dalam hal ini anggota organisasi . Seluruh kegiatan anggota organisasi  yang diaktualisasikan dalam bentuk  bekerja secara individual maupun kolektif akan dapat berlangsung efektif dan efisien harus dipimpin secara efektif pula. Para pemimpin berperan untuk dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, keamanan, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Para pemimpin memainkan peranan penting dalam menentukan organisasi untuk mencapai tujuan.

Seorang pemimpin sekolah dengan kepemimpinannya diharapkan mampu untuk mempengaruhi, merubah, dan mengarahkan tingkah laku para pegawainya atau orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Hakekat dari esensi kepemimpinan adalah:
a. Kemampuan mempengaruhi tata laku orang lain, apakah dia pegawai/bawahan, rekan sekerja atau atasan.
b. Adanya pengikut yang dapat dipengaruhi, baik oleh ajakan, anjuran, bujukan, sugesti, perintah, saran atau bentuk lainnya.
c. Adanya tujuan yang hendak dicapai.

Menurut Nighttingale dan Schult (Kartono, 2008:31), bahwa kemampuan dan syarat-syarat yang harus dimiliki pemimpin adalah:
1.     Kemandirian, berhasrat memajukan diri sendiri (individualisme)
2.     Besar rasa ingin tahu dan cepat tertarik pada manusia dan benda-benda (curious)
3.     Multi trampil atau memiliki kepandaian beraneka ragam
4.     Memiliki rasa humor, antusiasme tinggi, suka kawan
5.     Perfeksionisme, selalu mendapatkan yang sempurna
6.     Mudah menyesuaikan diri, adaptasinya tinggi
7.     Sabar namun ulet, serta tidak mandek berhenti
8.     Waspada, peka, jujur, optimis, berani, gigih, ulet, realistis
9.     Komunikatif, serta pandai berbicara atau berpidato
10. Berjiwa wiraswasta
11. Sehat jasmani, dinamis, sanggup dan suka menerima tugas yang berat, serta berani mengambil resiko
12. Tajam firasatnya, tajam dan adil pertimbangannya
13. Berpengetahuan luas, dan haus akan ilmu pengetahuan
14. Memiliki motivasi tinggi dan menyadari target atau tujuan hidup yang ingin dicapai, dibimbing oleh idealisme tinggi
15. Punya imajinasi tinggi, daya kombinasi dan gaya inovasi.

Miller (Syafiie, 2008:75) menyebutkan ada empat hal penting yang harus dimiliki oleh pemimpin yaitu:
1.     Kemampuan untuk melihat organisasi secara keseluruhan (the ability to see enterprise as a whole)
2.     Kemmapuan untuk mendelegasikan wewenang (the ability to delegated authority)
3.     Kemampuan untuk memerintahkan kesetiaan (the ability to command loyality)
4.     Kemampuan untuk membuat keputusan (the ability to make decision).

Kemampuan sebagai pemimpin yang efektif pada dasarnya mencakup tiga kriteria pokok yaitu kemampuannya dalam konteks organisasional, kemampuannya dalam team, dan kemampuannya sebagai individu. Ketiga kriteria tersebut menurut pendapat yang dikemukakan oleh Soedjadi (2007:184-185) sebagai berikut:

1.     Kemampuannya dalam memimpin organisasi mencakup butir sebagai berikut:
a.      Mempunyai jangkauan pandangan ke depan yang luas, termasuk pemeliharaan kesinambungan serta keserasian dinamika kegiatan jangka panjang, sedang, dan pendek.
b.     Berpikir strategis, konseptual dan pragmatis sehingga penentuan kebutuhan informasi juga pengumpulan, penanganan dan analisisnya yang dapat dilakukan dengan baik, serta masalah-masalah yang bakal timbul dapat diprediksi dengan cermat dan pemecahannya pun dapat dilakukan dengan lebih baik.
c.      Memiliki kepekaan terhadap pengaruh faktor lingkungan, baik fisik maupun non fisik/abstrak.
                 
2.     Kemampuan dalam membina tim kerja:
a.      Kemampuan sebagai pemimpin (leader) dalam mempengaruhi dan mengarahkan bawahan (anggota organisasi/unit kerja) untuk dengan rela hati secara penuh gairah/semangat termotivasi untuk bekerja bagi tercapainya sasaran yang ditetapkan.
b.     Mempunyai fleksibilitas dalam arti sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi, untuk memungkinkan partisipasi dan inovasi setiap anggota tim, namun tetap konsisten dengan sasaran yang harus dicapai serta azas-azas yang berlaku umum.
c.      Berorientasi pada pemecahan masalah, berani mengambil keputusan serta berani menanggung resiko.
d.     Menjadi perekat (tenacity) tim dalam mencapai hasil kongkret yang telah ditetapkan.

3.     Kemampuan sebagai individu:
a.     Memilik kemampuan berkomunikasi timbal balik, baik vertikal, horizontal maupun diagonal, dalam rangka membina kerjasama, koordinasi dan hubungan kerja (relationship) timbal balik serta keterpaduan antara pihak-pihak terkait untuk tercapainya sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
b.     Memiliki pengetahuan dan kemampuan pribadi yang cukup, namun dengan perilakunya yang positif dan dengan sadar senantiasa menyebarluaskan kemampuan tersebut kepada orang lain serta menerapkannya agar lebih bermanfaat bagi banyak pihak.
c.      Memiliki profesionalisme ataupun kemampuan teknis dalam bidang tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimilikinya.

Pendapat lain menjelaskan bahwa kemampuan yang harus dimiliki oleh pemimpin dapat dibedakan menjadi tiga bentuk.  Sentanoe Kertonegoro (1995:8) menjelaskan tiga kemampuan yang harus dikuasai pemimpin adalah sebagai berikut:
1.     Keahlian teknis ialah kemampuan untuk menggunakan peralatan, prosedur atau teknik dari suatu bidang pekerjaan tertentu seperti: programmer, akuntansi, ahli teknik mesin.
2.     Keahlian kemanusiaan yaitu kemampuan untuk bekerja dengan memahami dan memberi motivasi orang lain baik sebagai individu maupun kelompok.
3.     Keahlian konseptual, ialah kemampuan mental untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan seluruh kepentingan dan kegiatan organisasi.

Sejalan dengan pola pikir, konseptual dan pengetahuan bahwa bentuk kemampuan atau ketrampilan yang harus dikuasai dalam menghadapi tugas dan kewajiban sesuai dengan strata kepemimpinan adalah meliputi kemampuan manajerial dan kemampuan teknis. Bagi pemimpin tingkat atas harus memiliki kemampuan manjerial yang lebih besar jika dibandingkan dengan kemampuan teknis. Bagi pemimpin tingkat menengah harus memiliki kemampuan manajerial seimbang dengan kemampuan teknis. Sedangkan bagi pemimpin tingkat bawah kemampuan teknis harus lebih besar untuk dikuasainya jika dibandingkan dengan kemampuan manajerial.

Memperhatikan pendapat di atas bahwa keahlian atau kemampuan untuk membina manusia adalah persyaratan yang terluas yang harus dimiliki setiap pemimpin pada tingkatan apapun. Semakin rendah tingkatan kepemimpinan, semakin diperlukan kemampuan teknis. Selanjutnya semakin tinggi tingkatan pemimpin, semakin dipersyaratkan terpenuhinya kemampuan konseptual (concepttual skill). Pada tataran pemimpin tingkat atas lebih banyak terpenuhi kemampuan konseptual mengingat dalam kemampuan konseptual tercakup kemampuan dalam menentukan kebijaksanaan serta meng-handle hal-hal yang strategik dengan ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan kemampuan teknis. Hanya saja karena meng-handle faktor manusia pada tingkatan manapun adalah tersulit, padahal manusia adalah faktor terpenting dalam organisasi maka persyaratan kemampuan manusia oleh setiap pimpinan adalah merupakan persyaratan yang merata dan terluas di tingkatan manapun.

Jadi pada hakekatnya seluruh pimpinan, baik sebagai pimpinan atas, pimpinan tingkat menengah maupun pimpinan tingkat bawah, memerlukan berbagai kemampuan kepemimpinan seperti yang telah dijelaskan. Yang membedakan dari ketiga tingkatan pimpinan dalam hubungannya dengan kemampuan kepemimpinan adalah bobot masing-masing kemampuan kepemimpinan. Semakin tinggi tingkat kepemimpinannya maka akan semakin besar penguasaan kemampuan manajerialnya, sebaliknya semakin rendah tingkat kepemimpinan maka semakin besar penguasaan kemampuan teknisnya. Hal ini berarti bahwa penguasaan kemampuan kepemimpinan suatu Organisasi pada hakekatnya untuk membentuk pemimpin sekolah yang efektif. Tidak akan dapat menjadi seorang pemimpin sekolah yang efektif sepanjang tidak memiliki kemampuan kepemimpinan suatu Organisasi secara proporsional, yang tentu saja diharapkan dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi lingkungan kerjanya.


Remuneration is broader than the meaning of salary and wages, as there is also an element of indirect and non-financial rewards into the overall concept of remuneration

Abah Opar Remuneration is broader

Pengertian Remunerasi Menurut Para Ahli

Sikula, yang dikutip Hasibuan (2008:119), mengemukakan bahwa: “A renumeration is a reward payment or reimbursement for services rendered”. Artinya, remunerasi adalah suatu hadiah, pembayaran, atau balas jasa untuk jasa yang diberikan. Lebih lanjut, Sikula, yang dikutip Hasibuan (2008:119), mengemukakan bahwa: “Istilah remunerasi sebenarnya sama dengan istilah kompensasi. Kompensasi adalah segala sesuatu yang dikonstitusikan atau dianggap sebagai suatu balas jasa atau ekuivalen”.

Flippo, yang dikutip Hasibuan (2008:119) mengartikan: “Remunerasi merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan balas jasa”.

Handoko (2002:155) mengemukakan, bahwa: “Kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka”.

Werther dan Davis, yang dikutip Hasibuan (2008:119), mengemukakan bahwa: “Kompensasi adalah apa yang seorang pekerja terima sebagai balasan dari pekerjaan yang diberikannya. Baik upah per jam ataupun gaji periodic didesain dan dikelola oleh bagian personalia”.

Ranupandoyo (1998:41) menjelaskan, bahwa: “Persoalan kompensasi sebagai persoalan yang menyangkut penentuan upah dan gaji pekerja”.

Terry (1996:383) mengartikan, bahwa: “Kompensasi adalah persoalan yang menyangkut individu dan uang adalah persoalan memberikan balas jasa atau kompensasi”.

Pengertian kompensasi sebagaimana dikemukakan Liliweri (2007:337) sebagai berikut:
Kompensasi atau balas jasa merupakan pemberian penghargaan langsung maupun tidak langsung dalam bentuk finansial dan non-finansial yang adil dan layak kepada karyawan atas sumbangan mereka dalam pencapaian tujuan organisasi. Kompensasi mengandung arti yang lebih luas, lebih daripada pengertian gaji atau upah, karena meliputi penghargaan lain yang bersifat material/natura di luar gaji/finansial serta fasilitas material dan immaterial/layanan yang menyertai status.

Untuk lebih jelasnya, skema wujud kompensasi menurut Liliweri (2007:338) sebagai berikut:


Abah Opar: kompensasi menurut Liliweri (2007:338)


Wujud Kompensasi
                                                Uang
                                                -  Gaji dan upah
                                                -  Tunjangan dalam bentuk uang
                                                -  Bonus

Kompensasi                              Natura
                                                -  Beras, gula
                                                -  Pakaian
                                                -  Obat-obatan, dan lain-lain


                                                Kenikmatan
                                                -  Fasilitas (rumah/cuma-cuma/kredit/sewa)                   
                                                -  Fasilitas kendaraan
                                                -  Pemeriksaan kesehatan
                                                -  Asuransi
                                                -  Koperasi

Berdasarkan skema di atas dapat dikatakan bahwa imbalan dalam bentuk upah yang diterima seorang anggota organisasi atau seorang pekerja bukan saja dapat berupa uang yang dapat digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya tetapi juga dalam bentuk lain yang dapat menjamin kelangsungan kehidupan yang layak bagi anggota organisasi itu sendiri. Dengan demikian dalam pemberian kompensasi, kepentingan anggota organisasi untuk hidup secara layak tanpa harus menggantungkan pemenuhan berbagai jenis kebutuhannya pada orang lain perlu dan harus diperhatikan. 

Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Siagian (2007:253) yang menyatakan bahwa:
Kepentingan para pekerja harus mendapat perhatian dalam arti bahwa kompensasi yang diterimanya atas jasa yang diberikan kepada organisasi harus memungkinkannya mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai insan yang terhormat. Tegasnya kompensasi tersebut memungkinkannya mempertahankan taraf hidup yang wajar dan layak serta hidup mandiri tanpa menggantungkan pemenuhan berbagai jenis kebutuhannya kepada orang lain.

Hasibuan (2008:118) menjelaskan, bahwa: “Kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atau jasa yang diberikan kepada organisasi”. Lebih lanjut, Hasibuan membedakan kompensasi ke dalam dua jenis, yaitu “Kompensasi langsung dan kompensasi tidak langsung”. Kompensasi langsung berupa gaji, upah, dan upah insentif. Kompensasi tidak langsung berupa benefit dan service atau kesejahteraan karyawan. Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara periodik kepada karyawan tetap serta mempunyai jaminan yang pasti (maksudnya, gaji akan tetap dibayarkan walaupun pekerja tersebut tidak masuk kerja). Upah adalah balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja harian dengan berpedoman atas perjanjian yang disepakati membayarnya. 

Upah insentif adalah tambahan balas jasa yang diberikan kepada karyawan tertentu yang prestasinya di atas prestasi standar. Benefit dan service adalah kompensasi tambahan (finansial atau nonfinansial) yang diberikan berdasarkan kebijaksanaan organisasi terhadap semua karyawan dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, seperti tunjangan hari raya, uang pensiun, pakaian dinas, kafetaria, mushala, olahraga, dan darmawisata.

Berdasarkan uraian di atas, pengertian remunerasi lebih luas daripada pengertian gaji dan upah, karena terdapat pula unsur penghargaan tidak langsung dan non-finansial ke dalam konsep balas jasa secara keseluruhan. Pola balas jasa organisasi-organisasi modern dewasa ini memasukkan persentase yang cukup besar terhadap tunjangan karyawan, penghargaan tidak langsung dan pelayanan semi finansial lainnya. Walaupun dalam praktik, kebanyakan karyawan masih dibayar terutama berdasarkan waktu yang mereka gunakan di tempat kerja. Sebagai contoh, pekerja kerah biru (kasar) biasanya dibayarkan upahnya per jam atau per hari, atau lazim disebut upah harian. Sedangkan beberapa karyawan pada tingkat manajer, profesional, sekretaris dan pegawai digaji berdasarkan lamanya periode waktu seperti mingguan, bulan atau tahunan.

Suatu remunerasi yang memperhatikan kepentingan para anggota organisasi bisa dilihat dari kebijaksanaan organisasi mengenai upah dan gaji bagi para anggotanya, yang tercermin pada jumlah uang yang dibawa pulang, ini berarti bukan hanya gaji pokok akan tetapi berbagai komponen lain dari kebijaksanaan tersebut, seperti tunjangan jabatan, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan transportasi, bantuan pengobatan, bonus dan sebagainya.

Kebijaksanaan mengenai remunerasi pada hakekatnya adalah remunerasi yang bersifat langsung yang berkaitan dengan upah dan gaji yang diterima seorang pekerja atau seorang anggota organisasi, akan tetapi suatu remunerasi yang baik juga harus memperhatikan komponen yang bersifat tidak langsung yang tentunya juga berkait erat dengan kepentingan anggota organisasi itu sendiri. Remunerasi yang bersifat tidak langsung ini biasanya tidak terlepas dari ketentuan normatif yang lumrah dikeluarkan instansi pemerintah yang berwenang, seperti yang dikemukakan oleh Siagian (2007:257), yaitu mencakup berbagai hal, seperti : “Hak cuti, kehidupan kekaryaan wanita, pembatasan umur kerja, asuransi, upah minimum, upah lembur, keselamatan kerja dan sebagainya”.

Dengan demikian dapat terlihat jelas bahwa remunerasi yang baik adalah remunerasi yang memperhatikan kepentingan para anggota organisasi, yang secara nyata dapat terlihat dari pemberian imbalan yang secara langsung diterima pekerja berupa upah dan gaji serta imbalan yang memperhatikan aspek-aspek lain yang antara lain dapat berupa pemberian asuransi dan pembayaran ekstra lainnya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Terry (1996:385), bahwa: “Kompensasi pada dasarnya terdiri dari gaji pokok ditambah dengan jumlah pembayaran ekstra yang mencakup: bonus, pembagian keuntungan, insentif-insentif finansial dan emolument-emolumen ekstra lainnya”. Hal senada juga dikemukakan oleh Dessler (1997:85), bahwa:

Kompensasi karyawan merujuk pada semua bentuk upah atau imbalan yang berlaku bagi dan muncul dari pekerjaan mereka dan mempunyai dua komponen. Ada pembayaran keuangan langsung dalam bentuk upah, gaji, insentif, komisi dan bonus, dan ada pembayaran yang tidak langsung dalam bentuk tunjangan keuangan seperti asuransi dan uang liburan yang dibayar majikan.

Uraian tersebut di atas pada dasarnya adalah cara pandang yang memandang remunerasi dari sisi kepentingan para anggota organisasi, kendati pun dampak yang akan ditimbulkan dari remunerasi yang demikian akan sangat berpengaruh terhadap organisasi secara keseluruhan. Sebab jika para anggota organisasi diliputi oleh rasa tidak puas atas remunerasi yang diterimanya, maka dampaknya bagi organisasi akan sangat bersifat negatif. Artinya, jika ketidakpuasan tersebut tidak terselesaikan dengan baik, maka merupakan hal yang wajar apabila para anggota organisasi menyatakan keinginan untuk memperoleh imbalan yang bukan saja jumlahnya lebih besar, akan tetapi juga lebih adil. Dikatakan wajar sebab ada kaitannya dengan berbagai segi kehidupan kekaryaan para anggota organisasi seperti prestasi kerja, keluhan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadi kecelakaan dalam pelaksanaan tugas dan bahkan pemogokan. Berbagai hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja anggota organisasi yang dampaknya dapat pula dipastikan akan mempengaruhi produktivitas organisasi secara keseluruhan.

Braid, sebagaimana dikutip Timpe, mengemukakan bahwa: “Tidak ada satu organisasi pun yang dapat memberi kekuatan baru kepada tenaga kerja mereka atau meningkatkan produktivitas jika ia tidak memiliki remunerasi yang realistis”. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara kebijaksanaan remunerasi yang diterapkan organisasi kepada para anggotanya dengan motivasi kerja mereka, yang pada gilirannya akan berdampak pada tingkat produktivitas kerja mereka. Dalam kaitan ini, 

Dessler (1997:89) mengemukakan, bahwa :
Kebijakan kompensasi juga ditemukan memiliki efek yang dapat diukur pada sikap-sikap dan perilaku di tempat kerja. Tidak mengherankan, para pekerja yang menerima upah tinggi, berkemungkinan kecil untuk keluar, lebih puas dengan upah mereka, dan melaporkan bahwa mereka bekerja lebih keras daripada seharusnya.

Agar dapat menguji efektivitas suatu remunerasi atau memastikan bahwa suatu remunerasi di suatu organisasi efektif, maka menurut Patten, seperti yang dikutip oleh Lako (2005:15), menyatakan bahwa agar suatu remunerasi di suatu organisasi efektif, maka ada 6 (enam) kriteria yang harus dipenuhi, antara lain:
1.     Mencukupi, artinya sistem kompensasi tersebut harus memenuhi ketentuan minimum pemerintah, serikat pekerja dan peringkat manajemen.
2.     Adil, artinya setiap orang yang diberi kompensasi hendaknya sesuai atau selaras dengan jumlah usaha, kemampuan dan pelatihan yang dicurahkan.
3.     Seimbang, artinya jumlah gaji, tunjangan, bonus dan lainnya harus seimbang.
4.     Efektif dari sisi pembiayaan, artinya gaji yang diberikan harus sepadan dengan motivasi finansial organisasi.
5.     Dapat memotivasi orang untuk bekerja lebih efektif dan meningkatkan produktivitasnya.
6.     Dapat dipahami oleh para eksekutif dan karyawan.

Sedangkan Merchant, yang dikutip oleh Lako (2005:16), mengatakan bahwa suatu kompensasi yang layak harus dapat dievaluasi dan memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
1.     Harus dapat dinilai dengan tolak ukur yang relevan, jelas, akurat, valid, netral dan handal, serta dapat diterima oleh semua pihak.
2.     Harus dapat memberikan dampak yang positif terhadap perubahan perilaku atau motivasi para eksekutif dan karyawan.
3.     Harus dapat dipahami, artinya para karyawan harus dapat memahami alasan-alasan pemberian reward tersebut dengan besarnya nilai reward yang mereka terima.
4.     Harus diberikan tepat waktu, yaitu reward harus diberikan segera setelah kelayakan kinerja organisasi dan karyawan dinilai atau berdasarkan kesepakatan bersama yang telah ditetapkan.
5.     Pengaruh reward harus bertahan lama. Artinya, reward harus memiliki nilai lebih besar jika perasaan senang yang didorong oleh jaminan reward adalah untuk jangka panjang, yaitu jika karyawan mampu mengingatnya.
6.     Harus dapat direvisi atau diperbaharui kembali, karena para pengevaluasi atau penilai kinerja sering membuat kesalahan dalam melakukan penilaiannya.
7.     Harus mencerminkan costs efficient, artinya dengan biaya yang minimal atau seefisien mungkin, karyawan akan semakin termotivasi dan berprestasi.

Mengembangkan dan menyelenggarakan program remunerasi yang efektif adalah kegiatan rumit dan sangat khusus. Akan tetapi setiap pimpinan harus memahami dasar-dasar remunerasi` yang sehat. Hal itu akan menempatkannya dalam kedudukan yang lebih baik untuk mengkaji akibat yang kurang menguntungkan dari program yang tidak mencukupi atas kemampuannya untuk memperbaiki performa pekerjaan.

Braid, yang dikutip Timpe (2005:67-68) menyatakan bahwa program kompensasi yang baik mempunyai 3 (tiga) ciri penting, yaitu:
1.     Bersaing
Tingkat gaji dan manfaat harus cukup tinggi agar menarik orang yang kompeten. Kemampuan mempekerjakan pegawai yang memenuhi kualifikasi adalah sangat kritis bagi keberhasilan setiap organisasi.

2.     Rasional
Gaji pegawai individual harus sebanding dengan performa yang terukur dari pekerjaan dan dapat diperbandingkan dengan gaji di organisasi lain untuk pekerjaan serupa. Analisis pekerjaan sangat kritis bagi program kompensasi yang rasional, dan terdiri dari penjelasan pekerjaan dan pengkajian pekerjaan. Penjelasan pekerjaan menerangkan mengapa suatu pekerjaan itu ada. Ia menjelaskan tugas spesifik, kewajiban dan tanggungjawab pekerjaan. Ia juga mengidentifikasikan kondisi kerja, peralatan yang dipakai dan hubungan dengan kedudukan lain dalam organisasi. Pengkajian pekerjaan adalah pendekatan sistematis untuk menentukan nilai relatif pekerjaan di dalam organisasi. Ia adalah usaha untuk memantapkan gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama.

3.     Berlandaskan performa
Supaya efektif, program kompensasi harus dapat membangkitkan dan memberi penghargaan bagi performa yang meningkat. Secara ideal, peningkatan gaji harus mengakui kontribusi pegawai kepada organisasi belum lama berselang.

Hasibuan (2008:123-124) mengemukakan bahwa sistem pembayaran kompensasi yang umum diterapkan adalah:
1.     Sistem waktu, dimana besarnya kompensasi (gaji, upah) ditetapkan berdasarkan standar waktu seperti jam, minggu, atau bulan.
2.     Sistem hasil (output), dimana besarnya kompensasi/upah/remunerasi ditetapkan atas kesatuan unit yang dihasilkan pekerja, seperti per potong, meter, liter, dan kilogram.
3.     Sistem borongan, adalah suatu cara pengupahan yang penetapan besarnya jasa didasarkan atas volume pekerjaan dan lama mengerjakannya. Penetapan besarnya balas jasa berdasarkan sistem borongan cukup rumit, lama mengerjakannya, serta banyak alat yang diperlukan untuk menyelesaikannya.

Remunerasi yang berlaku pada pegawai negeri sipil adalah gaji dengan sistem gabungan yaitu gaji pokok yang ditetapkan berdasarkan pangkat dan masa kerja, tanpa memperhatikan sifat pekerjaan dan tanggung jawab serta tunjangan jabatan yang ditetapkan berdasarkan jenjang jabatan. Disamping gaji pokok, pegawai juga menerima tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan pajak, tunjangan khusus, dan honorarium. Selain gaji, pegawai juga memperoleh imbalan tidak langsung, yaitu iuran asuransi kesehatan (2% penghasilan) dan iuran untuk dana pensiun (belum ditetapkan karena sistem pendanaan pensiun masih menggunakan pendekatan pay-as-you-go). Untuk mempercepat terwujudnya pegawai yang profesional, produktif, akuntabel, diperlukan adanya perubahan total terhadap sistem remunerasi yang berlaku.

Bunyi pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) tersebut secara eksplisit mengamanatkan bahwa sistem remunerasi pegawai negeri harus berdasarkan pada ”merit”. Prinsip utama dari sistem remunerasi berbasis merit, menetapkan bahwa besarnya remunerasi pegawai harus terkait dengan bobot pekerjaan (job value) masing-masing. Bobot atau nilai jabatan diperoleh atau ditetapkan melalui proses yang disebut dengan evaluasi jabatan. 

Apa yang disebut dengan evaluasi jabatan pada dasarnya adalah sebuah proses dalam konteks manajemen sumber daya manusia yang dilakukan untuk menetapkan nilai (bobot) jabatan (job value). Kegiatan evaluasi jabatan harus dilakukan menggunakan metode yang tepat oleh sebuah tim evaluasi yang terlatih dalam melakukannya.

Sebelum tanggal 1 Juli 2007, Sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977. Gaji PNS/ASN masih rata/sama, diberikan kepada setiap pegawai dengan besarannya terkait dengan pangkat/golongan dan jabatan. Semakin tinggi pangkat/golongan dan jabatan seorang pegawai, maka semakin besar nilai yang akan diterima. Komponen gaji yang dibayarkan terdiri:
a.      Gaji Pokok, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketujuh Belas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 mengenai gaji pegawai negeri sipil masih berlaku hingga 2018 tentang Pengaturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS).
b.     Tunjangan Isteri/Suami, sebesar 10% dan tunjangan anak masing-masing 2% maksimal 2 (dua) orang anak.
c.      Tunjangan Umum atau Tunjangan Jabatan
d.     Tunjangan Beras
e.      Tunjangan Pajak Penghasilan


Job satisfaction has many dimensions, can represent the overall attitude and refer to the work of a person

Abah Opar Job satisfaction


Menentukan Standar Kepuasan Kerja Yang Ideal

Konsep kepuasan kerja mempunyai definisi yang berbeda-beda jika dilihat dari pendapat para ahli.
Robbins (2008:16) mendefinisikan, bahwa: ”Kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya”.
Porter (1991:135) mengemukakan, bahwa: ”Kepuasan kerja merupakan selisih dari sesuatu yang seharusnya ada (harapan) dengan yang sesungguhnya (kenyataan)”.

Davis (1996:12) mengatakan, bahwa: “Kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidak menyenangkannya pekerjaan mereka”.
Schermerhon dan Osborn (1995:74) berpendapat, bahwa: “Kepuasan kerja adalah suatu tingkatan perasaan yang positif atau negatif tentang beberapa aspek dari pekerjaan, situasi kerja, dan hubungan dengan rekan sekerja”.

Gibson dan kawan-kawan (1992:16) menyatakan kepuasan kerja sebagai berikut:
Kepuasan kerja tergantung dari tingkat perolehan intrinsik dan ekstrinsik dan pandangan pekerja terhadap perolehan tersebut. Tingkat perolehan mempunyai nilai yang berbeda-beda bagi tiap orang. Pekerjaan yang penuh tanggung jawab dan menantang bagi orang tertentu mungkin menghasilkan perolehan yang biasa atau bahkan negatif. Bagi orang lain, perolehan semacam itu mungkin mempunyai nilai positif. Orang mempunyai nilai yang berbeda-beda yang mereka kaitkan pada perolehan pekerjaan dan perbedaan tersebut akan menimbulkan tingkat kepuasan kerja pula.

Lebih lanjut, Gibson (1994:33) mengemukakan, bahwa: “Kepuasan dan semangat kerja adalah istilah yang serupa yang menunjukkan sampai seberapa jauh organisasi memenuhi kebutuhan para pegawainya. Ukuran kepuasan meliputi sikap pegawai, pergantian, kemungkinan keterlambatan dan keluhan”.

Handoko dan Asa’ad, yang dikutip Umar (2006:92) menjelaskan, bahwa: ”Kepuasan kerja merupakan penilaian atau cerminan dari perasaan pekerjaan terhadap pekerjaannya”.

Viteles, yang dikutip Dunnette (1993:133), membedakan hubungan konsep kepuasan kerja dengan konsep moral dan keterlibatan kerja. Moral dan kepuasan berkaitan dengan keadaan emosional positif yang mungkin dialami oleh pekerja. Viteles menekankan konsep ini pada dua hal, yaitu:
1.     Moral lebih berorientasi pada masa depan, sedangkan kepuasan lebih berorientasi ke masa sekarang dan masa lampau
2.     Moral sering merupakan suatu referensi kelompok yaitu berdasarkan pada keyakinan bahwa tujuan kelompok dapat dicapai dan selaras dengan tujuan individu, sedangkan kepuasan tergantung pada penilaian yang dibuat oleh individu itu sendiri dari situasi pekerjaannya.

Selanjutnya pendapat Siegel dan Lane (1997:125) menyatakan sebagai berikut:
Kepuasan kerja adalah cara seseorang merasakan pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan generalisasi sikap pekerja terhadap pekerjaannya yang memiliki berbagai aspek. Sikap seseorang terhadap pekerjaannya mencerminkan pengalaman yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapan-harapannya di masa depan.

Jewell & Siegall (1998:46) membagi teori kepuasan kerja yang berkaitan dengan teori motivasi antara lain:
1.     Teori dua faktor atau motivator higiene yang dikemukakan oleh Herzberg, Mausner & Snyderman, memandang bahwa kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator intrinsik (meliputi pencapaian prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri dan kemungkinan berkembang), dan ketidak-puasan kerja berasal dari ketidak-beradaan faktor-faktor ekstrinsik (meliputi upah, keamanan kerja, kondisi kerja, status, prosedur organisasi, mutu penyeliaan, mutu hubungan interpersonal antar sesama rekan kerja, atasan dan bawahan). Berdasarkan temuan empiris, teori ini kurang mendapat dukungan dari para ahli yang menganggap instrumen penelitian yang digunakan kurang tajam.

2.     Teori Model Aspek Kepuasan (satisfaction speet model) oleh Lawler, dimana individu dipuaskan dengan suatu aspek khusus dari pekerjaan mereka, misalnya rekan kerja, atasan, upah dan sebagainya. Jika jumlah aspek yang mereka alami adalah yang seharusnya mereka peroleh karena telah melaksanakan pekerjaannya sama dengan jumlah yang benar-benar mereka peroleh. Selain itu, kalau orang itu menerima jumlah yang lebih besar daripada yang pantas diperoleh mereka pantas merasa bersalah dan jika kurang dari yang pantas diperoleh maka mereka merasa tidak puas. Implikasi teori ini adalah seseorang akan menyesuaikan kontribusinya sesuai dengan tingkat keadilan/kepuasan yang diperolehnya. Teori ini sedikit memberi dukungan empiris berdasarkan pendapat para ahli.

3.     Teori Nilai (value theory) oleh Locke, membuat pemilihan antara nilai dan kebutuhan orang sering memberi nilai pada hal-hal yang sebetulnya tidak ia butuhkan, akan tetapi bisa juga terjadi sebaliknya dimana ia membutuhkan hal-hal yang sebenarnya tidak ia hargai. Kebutuhan adalah kondisi kodrati yang diperlukan individu demi kesejahteraan fisiologik maupun psikologiknya. Sedangkan nilai merupakan sesuatu yang diinginkan atau didambakan muncul dari proses belajar dan bukan secara alami. Karena itu, kepuasan kerja adalah keadaan emosional akibat anggapan bahwa individu mendapatkan apa yang dinilai tinggi. Teori ini berdasarkan pengalaman penelitian tidak cukup mendapat bukti.

4.     Teori proses lawan (opponent process theory) oleh Landy, yang menekankan kepuasan atau ketidakpuasan lebih pada usaha untuk mempertahankan keseimbangan emosional. Seseorang merasa puas sangat ditentukan oleh sejauhmana penghayatan emosionalnya terhadap situasi yang dihadapinya. Bila situasi tersebut memberikan keseimbangan emosional bagi dirinya maka orang tersebut merasa puas, sebaliknya jika situasi tersebut menimbulkan ketidak-stabilan emosional maka orang tersebut merasa tidak puas. Pengalaman membuktikan bahwa tidak cukup penelitian yang mendukung teori ini.

5.     Teori kesenjangan (discrepancy theory) oleh Porter, seperti yang dikemukakan Reiner & Kenichi, yang mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah selisih dari sesuatu yang seharusnya ada (harapan) dengan yang sesuatu yang sesungguhnya ada (kenyataan). Locke juga berpendapat bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada kesenjangan antara apa yang seharusnya (harapan, kebutuhan atau nilai) dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh melalui pekerjaannya. Seseorang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara apa yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi. Bila yang diperoleh ternyata lebih besar daripada yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas walaupun terjadi kesenjangan, karena yang terjadi adalah kesenjangan positif. Sebaliknya, makin jauh kenyataan yang dirasakan itu dan di bawah standar minimum sehingga menjadi kesenjangan negatif maka makin besar pula ketidak-puasan seseorang terhadap pekerjaannya. Teori ini sedikit mendapat dukungan empiris dari para ahli.

6.     Teori instrumentalia (instrumentalia theory) dikemukakan oleh Porter & Lawler, yang menyatakan bahwa kepuasan bergantung pada kecocokan antara penghargaan yang diharapkan dengan penghargaan yang diterima. Penelitian menunjukkan sedikit bukti yang mendukung teori ini.

Teori-teori kepuasan kerja umumnya berhubungan erat dengan teori-teori motivasi Kreiner dan Kenichi (1992:119) yang membagi teori-teori yang menentukan kepuasan kerja, antara lain berdasarkan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1.     Teori pemenuhan kebutuhan (need fullfilment), yakni makin banyak kebutuhan-kebutuhan yang terpenuhi oleh lingkungan pekerjaan maka makin tinggi derajat kepuasan kerjanya.
2.     Teori kesenjangan (discrepancies), menyatakan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada kesenjangan antara apa yang seharusnya (harapan, kebutuhan atau nilai) dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh melalui pekerjaannya.
3.     Teori pencapaian nilai (vallue attainment), yaitu mirip dengan teori kesenjangan, akan tetapi yang menjadi titik sentral adalah nilai atau value yang dianut individunya.
4.     Teori kesamaan (equity), dimana kepuasan dilihat dari perbandingan antara dirinya dengan rekan sekerja.
5.     Teori komponen genetik (genetic component), menyatakan bahwa sebagian kepuasan kerja merupakan fungsi dari genetik.

Kepuasan kerja merupakan keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Dengan demikian kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Departemen personalia atau manajemen harus senantiasa memonitor kepuasan kerja, karena hal itu mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja, keluhan-keluhan dan masalah-masalah personalia vital lainnya.

Tolok ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada, karena setiap individu karyawan berbeda standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja ini hanya diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, dan pergantian (turn over) kecil, maka secara relatif kepuasan kerja karyawan baik, tetapi sebaliknya jika kedisiplinan, moral kerja dan turn over karyawan besar, maka kepuasan kerja karyawan di suatu organisasi akan berkurang.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya kepuasan kerja menyangkut sikap dan penilaian positif atau negatif seseorang atas hasil pekerjaannya dan merupakan selisih dari sesuatu yang seharusnya ada (harapan) dengan yang sesungguhnya ada (kenyataan).

Kepuasan kerja memiliki banyak dimensi, dapat mewakili sikap secara keseluruhan dan mengacu pada bagian pekerjaan seseorang. Studi kepuasan kerja seringkali terfokus pada hal-hal tersebut dan memilahnya menjadi hal-hal yang langsung berkaitan dengan isi pekerjaan dan konteks pekerjaan.

Locke, yang dikutip Robbins (2006:192), membagi dimensi-dimensi atau faktor-faktor yang mendorong kepuasan kerja, antara lain:
1.     Pekerjaan yang menantang, dimana pekerja cenderung menyukai pekerjaan yang memberikan kesempatan untuk memanfaatkan ketrampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan keanekaragaman tugas, kebebasan dan umpan balik tentang sejauhmana baiknya pekerjaan yang mereka lakukan. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, namun terlalu banyak tantangan malah dapat menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Kebanyakan karyawan akan merasa senang dan puas jika tantangan pekerjaan mereka tingkatnya sedang.

2.     Imbalan yang adil, dimana pekerja cenderung menginginkan sistem penggajian dan kebijakan-kebijakan yang adil, tidak berambisi, serta sejalan dengan harapannya. Kepuasan kerja akan tercapai jika penggajian sesuai dengan tuntutan tugas, tingkat ketrampilan individu dan standar pembayaran umum. Akan tetapi tidak semua orang hanya bekerja untuk mengejar uang. Banyak yang bersedia memperoleh gaji sedikit asalkan bekerja dalam lokasi yang diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang banyak tuntutan ataupun yang mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam pekerjaannya. Hal penting dalam menghubungkan antara gaji dan kepuasan bukanlah pada jumlah mutlak yang dibayarkan akan tetapi pada persepsi keadilan dalam penggajian.

3.     Kondisi kerja yang mendukung, dimana penelitian membuktikan bahwa pekerja lebih menyukai dan merasa puas antara lain dengan lingkungan fisik yang nyaman dan tidak berbahaya, suhu udara, penerangan atau kebisingan yang tidak terlalu ekstrim, tempat kerja yang dekat dengan rumah, ruangan bersih dengan fasilitas relatif modern dan peralatan dan perlengkapan kerja yang sesuai.

4.     Rekan kerja yang mendukung, dimana bagi sebagian pekerja melakukan pekerjaan juga sekaligus memenuhi kebutuhan mereka terhadap interaksi sosial. Pekerja lebih puas bila mempunyai rekan kerja yang menyenangkan, saling mendukung mempunyai supervisor yang penuh perhatian, bersahabat, menghargai hasil kerja, mendengarkan pendapat pekerja dan menunjukkan minat pribadi terhadap bawahannya. Atasan yang lebih disenangi pekerja adalah atasan yang penuh perhatian, suportif, hangat, berorientasi pada pekerja dan bukannya bermusuhan.

5.     Kesesuaian antara pribadi pekerjaan, yaitu kesesuaian antara kepribadian pekerja dengan pekerjaan akan membuat kepuasan kerja tinggi pada pekerja. Orang-orang yang tipe kepribadiannya kongruen dengan pekerjaan yang telah mereka pilih umumnya punya bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan atas pekerjaan mereka sehingga mereka kemungkinan besar akan berhasil pada pekerjaan tersebut dan dengan demikian mencapai kepuasan kerja yang tinggi pula.

Luthans (1992:19) membagi dimensi-dimensi pekerjaan yang berhubungan dengan kepuasan kerja, yaitu: “Imbalan, pekerjaan itu sendiri, promosi, supervisi, kelompok kerja dan kondisi kerja”.

Gilmer (1985:98) menyatakan, bahwa ada sepuluh dimensi yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja, yakni:
1.     Keamanan
2.     Kesempatan untuk maju
3.     Organisasi dan manajemen
4.     Upah
5.     Aspek intrinsik dari pekerjaan
6.     Supervisi
7.     Aspek sosial dari pekerjaan
8.     Komunikasi
9.     Kondisi kerja dan
10. Benefit.

Locke, yang dikutip oleh Dunnette (1993:76), membagi sembilan dimensi kerja yang merupakan pengembangan dari Locke sebelumnya dan mempunyai kontribusi terhadap kepuasan kerja, sebagai berikut:
1.     Pekerjaan, termasuk minat intrinsik, variasi tugas, kesempatan belajar, kesulitan kerja, jumlah kerja, kesempatan untuk berhasil, kontrol terhadap langkah-langkah pekerjaan dan metode pekerjaan.
2.     Pembayaran, termasuk jumlah pembayaran, keadilan pembayaran dan cara pembayarannya.
3.     Promosi, termasuk keadilan mendapatkan promosi dan kesempatan mendapat promosi.
4.     Pengakuan, termasuk penghargaan terhadap presasi, kepercayaan atas tugas yang diberikan dan kritik-kritik atas tugas yang dikerjakan.
5.     Benefit, termasuk memperoleh pensiun, mendapat kesehatan, adanya cuti tahunan dan adanya pembayaran pada saat liburan.
6.     Kondisi kerja, termasuk jam kerja, jam istirahat, peralatan kerja, temperatur di lokasi kerja, ventilasi, kelembaban, lokasi dan tata ruang kerja.
7.     Supervisi, termasuk gaya dan pengaruh supervisi, hubungan manusia dan ketrampilan administratif.
8.     Rekan kerja, termasuk kompetensi, saling membantu dan keramahan antar rekan kerja.
9.     Organisasi dan manajemen, termasuk kebijakan akan perhatian terhadap pekerja, baik untuk pembayaran ataupun benefit-benefit.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat ada tujuh dimensi yang sama yang dipergunakan para ahli dalam mengungkapkan dimensi-dimensi yang mempengaruhi kepuasan kerja yakni berdasarkan pendapat Locke, Luthans dan Gilmer. Aspek-aspek ini paling sering muncul dalam penelitian yang berhubungan dengan kepuasan kerja sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek tersebut dianggap paling mewakili kepuasan kerja yang diinginkan, yaitu:
1.     Pekerjaan itu sendiri
2.     Promosi
3.     Pembayaran
4.     Supervisi
5.     Rekan kerja
6.     Kondisi kerja
7.     Organisasi dan manajemen.

Apabila dibandingkan dengan dimensi-dimensi yang diberikan Locke, dimensi pekerjaan itu sendiri, pembayaran, rekan kerja dan kondisi kerja dalam penelitian ini sama dengan dimensi Locke yakni pekerjaan itu sendiri, imbalan, yang adil, rekan kerja yang mendukung dan kondisi kerja yang menantang.

Rivai (2007:245) mengemukakan, bahwa faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang karyawan adalah:
1.     Isi pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap pekerjaan
2.     Supervisi
3.     Organisasi dan manajemen
4.     Kesempatan untuk maju
5.     Gaji dan keuntungan dalam  bidang finansial lainnya
6.     Rekan kerja
7.     Kondisi pekerjaan.

Itulah artikel yang Abah Opar posting kali ini tentang Pengaruh Lingkungan Kerja dan Remunerasi Terhadap Kepuasan Kerja semoga dapat bermanfaat untuk kita semua minimal sebagai knowledge bagi kita lantas dalam menyikapi  atau menyimpulkannya suka-suka kita yang penting dapat dipertanggungjawabkan serta memiliki nilai keutamaan dalam kehidupan. Selanjutnya silahkan baca juga khusus untuk anda artikel tentang:  Kebhinekaan Masyarakat Indonesia dan Dinamika Kehidupan Global   - terima kasih sudah berkunjung semoga mendapatkan apa yang saudaraku cari di website Abah Opar.


Pageviews Artcle

Rekomendasi Unuk Anda Baca

9 Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah

Education and Knowledge Update   Apa Saja Yang Termasuk 9 Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah itu ? Sahabatku beriku...

Comments
Comments