Qank Opar Supranatural Pedagogic: Education and Knowledge Update
Adakah Pengaruh Lingkungan Kerja dan Remunerasi Terhadap Kepuasan Kerja? Seberapa besar pengaruhnya terhadap hasil kerja dan kemakmuran atau kepuasan pekerja. Untuk menjawab semua itu semestinya kita memahami duduk perkara atau persoalannya secara komprehensip. Berikut ini Abah Opar akan mengajak sahabatku untuk memahami dulu apa itu pengertian lingkungan kerja dalam suatu organisasi, lantas pengartian remunerasi menurut para ahli, dan bagaimana menentukan standar kepuasan kerja yang ideal.
Adakah Pengaruh Lingkungan Kerja dan Remunerasi Terhadap Kepuasan Kerja? Seberapa besar pengaruhnya terhadap hasil kerja dan kemakmuran atau kepuasan pekerja. Untuk menjawab semua itu semestinya kita memahami duduk perkara atau persoalannya secara komprehensip. Berikut ini Abah Opar akan mengajak sahabatku untuk memahami dulu apa itu pengertian lingkungan kerja dalam suatu organisasi, lantas pengartian remunerasi menurut para ahli, dan bagaimana menentukan standar kepuasan kerja yang ideal.
The
essence of the essence of an organization's leadership and the leadership
element indicates a strong interaction between the leader and follower in this
case members of the organization
Kita memahami bahwa lingkungan
kerja memegang peranan penting dalam suatu organisasi , karena lingkungan kerja
secara langsung dapat pula mempengaruhi keberhasilan dalam proses hasil kerja namun bagaimana dengan pengertian lingkungan kerja menurut para ahli?. Mari kita simak berikut ini penjelasan atau pendapat para ahli tentang Pengertian Lingkungan Kerja.
Akhyari (1996:39) mengatakan, bahwa: ”Lingkungan kerja adalah merupakan suatu
lingkungan dimana para karyawan melaksanakan tugas dan kewajiban sehari-hari
yang meliputi beberapa bagian, yaitu pelayanan karyawan, kondisi kerja, dan
hubungan karyawan di dalam organisasi yang bersangkutan”.
Nitisemito
(1998) mengemukakan, bahwa: ”Lingkungan kerja adalah sesuatu yang ada di
sekitar pekerja dan dapat mempengaruhi dirinya dalam mengerjakan tugas-tugasnya
yang dibebankan”.
Aswani
(1999) menjelaskan, bahwa: ”Lingkungan kerja terdiri dari lingkungan kerja
fisik dan sosial, yaitu meliputi kondisi kerja, ruangan, tempat, peralatan
kerja, jenis pekerjaan, atasan, rekan kerja, bawahan, orang-orang di luar organisasi,
budaya organisasi, kebijaksanaan, dan peraturan organisasi”. Selanjutnya dikatakan
pula hasil pekerjaan merupakan pencerminan akhir dari perilaku kerja yang
sangat dipengaruhi oleh pribadi pelaku dan kondisi lingkungan kerja, baik fisik
maupun sosial. Proses ini dapat terjadi sebaliknya, yaitu antara kondisi
lingkungan, baik maupun sosial, dengan kondisi pribadi pelaku yang saling
berinteraksi yang mengandung unsur keterpengaruhan terhadap perilaku kerja
dalam rangka memperoleh hasil akhirnya.
Gondokusumo
(2003:34) mengemukakan pengertian lingkungan kerja sebagai berikut:
Lingkungan konkrit dan
abstrak yang meliputi atau mengelilingi kerja seseorang, diantaranya mencakup:
1.
Dari
pihak pimpinan
a. Kebijaksanaan,
program, prosedur dan pedoman
b. Syarat-syarat
kerja
c. Alat-alat
kerja dan persediaan bahan
d. Tempat
kerja
e. Kepemimpinan
2.
Dari
pihak karyawan
a. Semangat
b. Kerjasama
dalam kelompok
c. Kesediaan
saling membantu
d. Prestasi
dan produktivitas karyawan lain.
Melihat
uraian di atas, pemimpin lembaga atau suatu organisasi merupakan orang yang harus memiliki beberapa
kelebihan diantara orang-orang yang ada di lingkungannya. Pemimpin harus memiliki beberapa kelebihan, baik dalam cara berpikir dan tingkat
intelegensinya, kepekaan terhadap lingkungan, ketekunan atau keuletan maupun
dalam bidang moral, akhlak serta kepribadiannya. Pemimpin yang efektif harus
mampu memberikan pengarahan terhadap usaha semua pekerja dalam pencapaian
tujuan organisasi. Tanpa pimpinan, hubungan antara individu dengan tujuan
organisasi akan menjadi lemah. Keadaan demikian sangat mengarahkan suatu
situasi yang mengandung berbagai harapan dimana para individu bekerja untuk
mencapai tujuannya sendiri sementara keseluruhan organisasi berbeda dalam
keadaan tidak efisien dalam pencapaian tujuan.
Atmosudirdjo,
yang dikutip oleh Masya (2000:158), menyatakan bahwa: “Pengertian pemimpin
adalah orang yang mempengaruhi orang-orang lain agar orang-orang ini mau
menjalankan apa yang dikehendakinya”.
Pamudji
(1997:25) menjelaskan bahwa pemimpin adalah:
Orang yang
berfungsi memimpin, atau orang yang membimbing atau menuntun. Di dalam
kehidupan sehari-hari dan juga dalam kepustakaan muncullah istilah yang serupa
dengan itu, kadang-kadang dipergunakan silih berganti seakan-akan tidak ada
bedanya satu dengan yang lainnya yaitu pemimpin dan kepemimpinan.
Fairchild, yang dikutip oleh Kartono (2000:34),
menyatakan sebagai berikut:
Pemimpin dalam
pengertian luas ialah seseorang yang memimpin, dengan jalan memprakarsai
tingkah laku sosial dengan mengatur, menunjukkan, mengorganisir atau mengontrol
usaha/upaya orang lain, atau melalui prestise kekuasaan atau posisi. Dalam
pengertian terbatas, pemimpin ialah seorang yang membimbing persuasifnya dan
akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para pengikutnya.
Mintzberg, yang
dikutip oleh Saydam (2005:214-216), mengemukakan berbagai macam peran pemimpin,
yaitu:
1. Peran Antar Manusia
a.
Peran selaku tokoh. Peran ini menyebabkan
setiap pempimpin mempunyai kewajiban untuk melakukan kegiatan yang bersifat
seremonial (upacara), seperti meresmikan proyek-proyek, membuka upacara-upacara
resmi, menyematkan tanda jasa dan sebagainya.
b.
Peran selaku pimpinan. Peran ini,
menyebabkan seorang pemimpin bertanggungjawab terhadap pembinaan dan
pengembangan para bawahannya, memotivasi dan meningkatkan semangat kerja serta
berusaha menyelaraskan kebutuhan bawahan dengan kepentingan organisasi.
c.
Peran selaku penghubung. Peran ini akan
menimbulkan kewajiban pada seorang pemimpin untuk melakukan hubungan dengan
atasan, teman sejawat dan bawahan, serta dengan orang-orang di luar organisasi.
2.
Peran Informatif
Peran informatif yang
dilakukan oleh seorang pemimpin adalah
peran seorang pemimpin dalam menerima dan mengirim informasi dalam rangka
hubungan yang dijalankan dengan lingkungan sekitarnya.
a.
Peran selaku pemantau (monitor), berarti
bahwa selaku pemimpin selalu memantau informasi dari berbagai arah untuk
kepentingan unit kerja yang dipimpinnya.
b.
Peran selaku penyebar, berarti selaku
pemimpin kadang-kadang perlu memberi informasi yang perlu diketahui oleh
bawahannya (intern)
c.
Sedangkan perlu selaku HUMAS, karena ia
kadang-kadang perlu pula memberi informasi kepada pihak-pihak luar (ekstern)
tentang perkembangan unit kerjanya, macam program yang akan dilaksanakan dan
sebagainya.
3.
Peran
Pembuat Keputusan
Peran selaku pembuat
keputusan, berarti bahwa seorang pemimpin mempunyai kewajiban melakukan
pengambilan keputusan untuk kelancaran mekanisme unit kerjanya. Keputusan yang
diambil tentu saja berdasarkan informasi atau masukan (input) yang ada atau
sudah dimilikinya selaku pemegang peran informatif.
Pemimpin suatu lembaga atau organisasi dengan kepemimpinannya adalah kegiatan yang harus dilakukan oleh seorang yang
menduduki posisi sebagai pimpinan dalam suatu organisasi untuk memberikan
pengaruh kepada para bawahannya, agar orang-orang tersebut mau/dapat melakukan
tugas dan kegiatan secara bersama-sama dalam mencapai tujuan yang dikehendaki.
Jadi kepemimpinan suatu Lembaga atau Organisasi itu
memiliki kemampuan yang sangat besar sekali dalam menjalankan roda organisasi,
karena pemimpin itulah yang menjalankan dan menggerakkan orang-orang para
bawahannya untuk dapat menjalankan tugas dan kegiatan yang dapat berdaya guna
dan berhasil guna.
Unsur-unsur
yang terkandung dalam kepemimpinan suatu Lembaga atau Organisasi antara lain adalah sebagai berikut:
a. Leader
adalah orang yang memimpin.
b. Pengikut adalah orang-orang yang dipimpin.
c. Organisasi yang bersangkutan.
d. Objective
adalah sasaran yang ingin dicapai.
e. Lingkungan adalah nilai-nilai sosial,
pertimbangan ekonomis dan politis.
Hakekat esensi kepemimpinan
suatu Organisasi dan unsur kepemimpinan
menunjukkan adanya interaksi yang kuat antara pemimpin dengan pengikut dalam
hal ini anggota organisasi . Seluruh kegiatan anggota organisasi yang diaktualisasikan dalam bentuk bekerja secara individual maupun kolektif
akan dapat berlangsung efektif dan efisien harus dipimpin secara efektif pula.
Para pemimpin berperan untuk dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja,
keamanan, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi.
Para pemimpin
memainkan peranan penting dalam menentukan organisasi untuk mencapai tujuan.
Seorang
pemimpin sekolah dengan kepemimpinannya diharapkan mampu untuk mempengaruhi,
merubah, dan mengarahkan tingkah laku para pegawainya atau orang lain untuk
mencapai tujuan organisasi. Hakekat dari esensi kepemimpinan adalah:
a. Kemampuan mempengaruhi tata laku orang lain,
apakah dia pegawai/bawahan, rekan sekerja atau atasan.
b. Adanya pengikut yang dapat dipengaruhi, baik
oleh ajakan, anjuran, bujukan, sugesti, perintah, saran atau bentuk lainnya.
c. Adanya tujuan yang hendak dicapai.
Menurut
Nighttingale dan Schult (Kartono, 2008:31), bahwa kemampuan dan syarat-syarat
yang harus dimiliki pemimpin adalah:
1.
Kemandirian, berhasrat memajukan diri
sendiri (individualisme)
2.
Besar rasa ingin tahu dan cepat tertarik
pada manusia dan benda-benda (curious)
3.
Multi trampil atau memiliki kepandaian
beraneka ragam
4.
Memiliki rasa humor, antusiasme tinggi,
suka kawan
5.
Perfeksionisme, selalu mendapatkan yang
sempurna
6.
Mudah menyesuaikan diri, adaptasinya
tinggi
7.
Sabar namun ulet, serta tidak mandek
berhenti
8.
Waspada, peka, jujur, optimis, berani,
gigih, ulet, realistis
9.
Komunikatif, serta pandai berbicara atau
berpidato
10.
Berjiwa wiraswasta
11.
Sehat jasmani, dinamis, sanggup dan suka
menerima tugas yang berat, serta berani mengambil resiko
12.
Tajam firasatnya, tajam dan adil
pertimbangannya
13.
Berpengetahuan luas, dan haus akan ilmu
pengetahuan
14.
Memiliki motivasi tinggi dan menyadari
target atau tujuan hidup yang ingin dicapai, dibimbing oleh idealisme tinggi
15.
Punya imajinasi tinggi, daya kombinasi dan
gaya inovasi.
Miller
(Syafiie, 2008:75) menyebutkan ada empat hal penting yang harus dimiliki oleh
pemimpin yaitu:
1. Kemampuan
untuk melihat organisasi secara keseluruhan (the ability to see enterprise as a
whole)
2. Kemmapuan
untuk mendelegasikan wewenang (the ability to delegated authority)
3. Kemampuan
untuk memerintahkan kesetiaan (the ability to command loyality)
4. Kemampuan
untuk membuat keputusan (the ability to make decision).
Kemampuan
sebagai pemimpin yang efektif pada dasarnya mencakup tiga kriteria pokok yaitu
kemampuannya dalam konteks organisasional, kemampuannya dalam team, dan
kemampuannya sebagai individu. Ketiga kriteria tersebut menurut pendapat yang
dikemukakan oleh Soedjadi (2007:184-185) sebagai berikut:
1.
Kemampuannya
dalam memimpin organisasi mencakup butir sebagai berikut:
a. Mempunyai
jangkauan pandangan ke depan yang luas, termasuk pemeliharaan kesinambungan
serta keserasian dinamika kegiatan jangka panjang, sedang, dan pendek.
b. Berpikir
strategis, konseptual dan pragmatis sehingga penentuan kebutuhan informasi juga
pengumpulan, penanganan dan analisisnya yang dapat dilakukan dengan baik, serta
masalah-masalah yang bakal timbul dapat diprediksi dengan cermat dan
pemecahannya pun dapat dilakukan dengan lebih baik.
c. Memiliki
kepekaan terhadap pengaruh faktor lingkungan, baik fisik maupun non
fisik/abstrak.
2.
Kemampuan
dalam membina tim kerja:
a. Kemampuan
sebagai pemimpin (leader) dalam mempengaruhi dan mengarahkan bawahan (anggota
organisasi/unit kerja) untuk dengan rela hati secara penuh gairah/semangat
termotivasi untuk bekerja bagi tercapainya sasaran yang ditetapkan.
b. Mempunyai
fleksibilitas dalam arti sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi, untuk
memungkinkan partisipasi dan inovasi setiap anggota tim, namun tetap konsisten
dengan sasaran yang harus dicapai serta azas-azas yang berlaku umum.
c. Berorientasi
pada pemecahan masalah, berani mengambil keputusan serta berani menanggung
resiko.
d. Menjadi
perekat (tenacity) tim dalam mencapai hasil kongkret yang telah ditetapkan.
3.
Kemampuan
sebagai individu:
a. Memilik
kemampuan berkomunikasi timbal balik, baik vertikal, horizontal maupun
diagonal, dalam rangka membina kerjasama, koordinasi dan hubungan kerja (relationship)
timbal balik serta keterpaduan antara pihak-pihak terkait untuk tercapainya
sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
b. Memiliki
pengetahuan dan kemampuan pribadi yang cukup, namun dengan perilakunya yang
positif dan dengan sadar senantiasa menyebarluaskan kemampuan tersebut kepada
orang lain serta menerapkannya agar lebih bermanfaat bagi banyak pihak.
c. Memiliki
profesionalisme ataupun kemampuan teknis dalam bidang tugas yang menjadi
tanggung jawabnya, sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang
dimilikinya.
Pendapat lain menjelaskan bahwa
kemampuan yang harus dimiliki oleh pemimpin dapat dibedakan menjadi tiga
bentuk. Sentanoe Kertonegoro (1995:8)
menjelaskan tiga kemampuan yang harus dikuasai pemimpin adalah sebagai berikut:
1. Keahlian
teknis ialah kemampuan untuk menggunakan peralatan, prosedur atau teknik dari
suatu bidang pekerjaan tertentu seperti: programmer, akuntansi, ahli teknik
mesin.
2. Keahlian
kemanusiaan yaitu kemampuan untuk bekerja dengan memahami dan memberi motivasi
orang lain baik sebagai individu maupun kelompok.
3. Keahlian
konseptual, ialah kemampuan mental untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan
seluruh kepentingan dan kegiatan organisasi.
Sejalan dengan pola
pikir, konseptual dan pengetahuan bahwa bentuk kemampuan atau ketrampilan yang
harus dikuasai dalam menghadapi tugas dan kewajiban sesuai dengan strata
kepemimpinan adalah meliputi kemampuan manajerial dan kemampuan teknis. Bagi
pemimpin tingkat atas harus memiliki kemampuan manjerial yang lebih besar jika
dibandingkan dengan kemampuan teknis. Bagi pemimpin tingkat menengah harus
memiliki kemampuan manajerial seimbang dengan kemampuan teknis. Sedangkan bagi
pemimpin tingkat bawah kemampuan teknis harus lebih besar untuk dikuasainya
jika dibandingkan dengan kemampuan manajerial.
Memperhatikan pendapat di atas bahwa keahlian atau
kemampuan untuk membina manusia adalah persyaratan yang terluas yang harus
dimiliki setiap pemimpin pada tingkatan apapun. Semakin rendah tingkatan
kepemimpinan, semakin diperlukan kemampuan teknis. Selanjutnya semakin tinggi
tingkatan pemimpin, semakin dipersyaratkan terpenuhinya kemampuan konseptual (concepttual
skill). Pada tataran pemimpin tingkat atas lebih banyak terpenuhi kemampuan
konseptual mengingat dalam kemampuan konseptual tercakup kemampuan dalam menentukan
kebijaksanaan serta meng-handle hal-hal yang strategik dengan ruang lingkup
yang lebih luas dibandingkan dengan kemampuan teknis. Hanya saja karena meng-handle
faktor manusia pada tingkatan manapun adalah tersulit, padahal manusia adalah
faktor terpenting dalam organisasi maka persyaratan kemampuan manusia oleh setiap
pimpinan adalah merupakan persyaratan yang merata dan terluas di tingkatan
manapun.
Jadi pada hakekatnya
seluruh pimpinan, baik sebagai pimpinan atas, pimpinan tingkat menengah maupun
pimpinan tingkat bawah, memerlukan berbagai kemampuan kepemimpinan seperti yang
telah dijelaskan. Yang membedakan dari ketiga tingkatan pimpinan dalam
hubungannya dengan kemampuan kepemimpinan adalah bobot masing-masing kemampuan
kepemimpinan. Semakin tinggi tingkat kepemimpinannya maka akan semakin besar
penguasaan kemampuan manajerialnya, sebaliknya semakin rendah tingkat
kepemimpinan maka semakin besar penguasaan kemampuan teknisnya. Hal ini berarti
bahwa penguasaan kemampuan kepemimpinan suatu Organisasi pada hakekatnya untuk
membentuk pemimpin sekolah yang efektif. Tidak akan dapat menjadi seorang
pemimpin sekolah yang efektif sepanjang tidak memiliki kemampuan kepemimpinan
suatu Organisasi secara proporsional, yang tentu saja diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang optimal bagi lingkungan kerjanya.
Remuneration is broader than the meaning of salary
and wages, as there is also an element of indirect and non-financial rewards
into the overall concept of remuneration
Pengertian Remunerasi Menurut Para Ahli
Sikula, yang dikutip Hasibuan
(2008:119), mengemukakan bahwa: “A renumeration is a reward payment or
reimbursement for services rendered”. Artinya, remunerasi adalah suatu hadiah,
pembayaran, atau balas jasa untuk jasa yang diberikan. Lebih lanjut, Sikula,
yang dikutip Hasibuan (2008:119), mengemukakan bahwa: “Istilah remunerasi
sebenarnya sama dengan istilah kompensasi. Kompensasi adalah segala sesuatu
yang dikonstitusikan atau dianggap sebagai suatu balas jasa atau ekuivalen”.
Flippo, yang dikutip Hasibuan
(2008:119) mengartikan: “Remunerasi merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan
balas jasa”.
Handoko (2002:155) mengemukakan,
bahwa: “Kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai
balas jasa untuk kerja mereka”.
Werther dan Davis, yang dikutip
Hasibuan (2008:119), mengemukakan bahwa: “Kompensasi adalah apa yang seorang
pekerja terima sebagai balasan dari pekerjaan yang diberikannya. Baik upah per
jam ataupun gaji periodic didesain dan dikelola oleh bagian personalia”.
Ranupandoyo (1998:41) menjelaskan,
bahwa: “Persoalan kompensasi sebagai persoalan yang menyangkut penentuan upah
dan gaji pekerja”.
Terry (1996:383) mengartikan, bahwa:
“Kompensasi adalah persoalan yang menyangkut individu dan uang adalah persoalan
memberikan balas jasa atau kompensasi”.
Pengertian kompensasi sebagaimana
dikemukakan Liliweri (2007:337) sebagai berikut:
Kompensasi atau balas jasa merupakan
pemberian penghargaan langsung maupun tidak langsung dalam bentuk finansial dan
non-finansial yang adil dan layak kepada karyawan atas sumbangan mereka dalam
pencapaian tujuan organisasi. Kompensasi mengandung arti yang lebih luas, lebih
daripada pengertian gaji atau upah, karena meliputi penghargaan lain yang
bersifat material/natura di luar gaji/finansial serta fasilitas material dan
immaterial/layanan yang menyertai status.
Wujud Kompensasi
Uang
- Gaji dan upah
-
Tunjangan dalam bentuk uang
- Bonus
Kompensasi Natura
-
Beras, gula
- Pakaian
- Obat-obatan, dan lain-lain
Kenikmatan
- Fasilitas (rumah/cuma-cuma/kredit/sewa)
- Fasilitas kendaraan
- Pemeriksaan kesehatan
-
Asuransi
- Koperasi
Berdasarkan
skema di atas dapat dikatakan bahwa imbalan dalam bentuk upah yang diterima
seorang anggota organisasi atau seorang pekerja bukan saja dapat berupa uang
yang dapat digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan
keluarganya tetapi juga dalam bentuk lain yang dapat menjamin kelangsungan
kehidupan yang layak bagi anggota organisasi itu sendiri. Dengan demikian dalam
pemberian kompensasi, kepentingan anggota organisasi untuk hidup secara layak
tanpa harus menggantungkan pemenuhan berbagai jenis kebutuhannya pada orang
lain perlu dan harus diperhatikan.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Siagian
(2007:253) yang menyatakan bahwa:
Kepentingan
para pekerja harus mendapat perhatian dalam arti bahwa kompensasi yang
diterimanya atas jasa yang diberikan kepada organisasi harus memungkinkannya
mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai insan yang terhormat. Tegasnya
kompensasi tersebut memungkinkannya mempertahankan taraf hidup yang wajar dan
layak serta hidup mandiri tanpa menggantungkan pemenuhan berbagai jenis
kebutuhannya kepada orang lain.
Hasibuan
(2008:118) menjelaskan, bahwa: “Kompensasi adalah semua pendapatan yang
berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan
sebagai imbalan atau jasa yang diberikan kepada organisasi”. Lebih lanjut,
Hasibuan membedakan kompensasi ke dalam dua jenis, yaitu “Kompensasi langsung
dan kompensasi tidak langsung”. Kompensasi langsung berupa gaji, upah, dan upah
insentif. Kompensasi tidak langsung berupa benefit dan service atau
kesejahteraan karyawan. Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara periodik
kepada karyawan tetap serta mempunyai jaminan yang pasti (maksudnya, gaji akan
tetap dibayarkan walaupun pekerja tersebut tidak masuk kerja). Upah adalah
balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja harian dengan berpedoman atas
perjanjian yang disepakati membayarnya.
Upah insentif adalah tambahan balas
jasa yang diberikan kepada karyawan tertentu yang prestasinya di atas prestasi
standar. Benefit dan service adalah kompensasi tambahan (finansial atau
nonfinansial) yang diberikan berdasarkan kebijaksanaan organisasi terhadap
semua karyawan dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, seperti
tunjangan hari raya, uang pensiun, pakaian dinas, kafetaria, mushala, olahraga,
dan darmawisata.
Berdasarkan
uraian di atas, pengertian remunerasi lebih luas daripada pengertian gaji dan
upah, karena terdapat pula unsur penghargaan tidak langsung dan non-finansial
ke dalam konsep balas jasa secara keseluruhan. Pola balas jasa organisasi-organisasi
modern dewasa ini memasukkan persentase yang cukup besar terhadap tunjangan
karyawan, penghargaan tidak langsung dan pelayanan semi finansial lainnya.
Walaupun dalam praktik, kebanyakan karyawan masih dibayar terutama berdasarkan
waktu yang mereka gunakan di tempat kerja. Sebagai contoh, pekerja kerah biru
(kasar) biasanya dibayarkan upahnya per jam atau per hari, atau lazim disebut
upah harian. Sedangkan beberapa karyawan pada tingkat manajer, profesional,
sekretaris dan pegawai digaji berdasarkan lamanya periode waktu seperti
mingguan, bulan atau tahunan.
Suatu
remunerasi yang memperhatikan kepentingan para anggota organisasi bisa dilihat
dari kebijaksanaan organisasi mengenai upah dan gaji bagi para anggotanya, yang
tercermin pada jumlah uang yang dibawa pulang, ini berarti bukan hanya gaji
pokok akan tetapi berbagai komponen lain dari kebijaksanaan tersebut, seperti
tunjangan jabatan, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan transportasi,
bantuan pengobatan, bonus dan sebagainya.
Kebijaksanaan
mengenai remunerasi pada hakekatnya adalah remunerasi yang bersifat langsung
yang berkaitan dengan upah dan gaji yang diterima seorang pekerja atau seorang
anggota organisasi, akan tetapi suatu remunerasi yang baik juga harus
memperhatikan komponen yang bersifat tidak langsung yang tentunya juga berkait
erat dengan kepentingan anggota organisasi itu sendiri. Remunerasi yang
bersifat tidak langsung ini biasanya tidak terlepas dari ketentuan normatif
yang lumrah dikeluarkan instansi pemerintah yang berwenang, seperti yang
dikemukakan oleh Siagian (2007:257), yaitu mencakup berbagai hal, seperti :
“Hak cuti, kehidupan kekaryaan wanita, pembatasan umur kerja, asuransi, upah
minimum, upah lembur, keselamatan kerja dan sebagainya”.
Dengan
demikian dapat terlihat jelas bahwa remunerasi yang baik adalah remunerasi yang
memperhatikan kepentingan para anggota organisasi, yang secara nyata dapat
terlihat dari pemberian imbalan yang secara langsung diterima pekerja berupa
upah dan gaji serta imbalan yang memperhatikan aspek-aspek lain yang antara
lain dapat berupa pemberian asuransi dan pembayaran ekstra lainnya. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Terry (1996:385), bahwa: “Kompensasi pada dasarnya
terdiri dari gaji pokok ditambah dengan jumlah pembayaran ekstra yang mencakup:
bonus, pembagian keuntungan, insentif-insentif finansial dan emolument-emolumen
ekstra lainnya”. Hal senada juga dikemukakan oleh Dessler (1997:85), bahwa:
Kompensasi
karyawan merujuk pada semua bentuk upah atau imbalan yang berlaku bagi dan
muncul dari pekerjaan mereka dan mempunyai dua komponen. Ada pembayaran
keuangan langsung dalam bentuk upah, gaji, insentif, komisi dan bonus, dan ada
pembayaran yang tidak langsung dalam bentuk tunjangan keuangan seperti asuransi
dan uang liburan yang dibayar majikan.
Uraian
tersebut di atas pada dasarnya adalah cara pandang yang memandang remunerasi
dari sisi kepentingan para anggota organisasi, kendati pun dampak yang akan
ditimbulkan dari remunerasi yang demikian akan sangat berpengaruh terhadap
organisasi secara keseluruhan. Sebab jika para anggota organisasi diliputi oleh
rasa tidak puas atas remunerasi yang diterimanya, maka dampaknya bagi
organisasi akan sangat bersifat negatif. Artinya, jika ketidakpuasan tersebut
tidak terselesaikan dengan baik, maka merupakan hal yang wajar apabila para
anggota organisasi menyatakan keinginan untuk memperoleh imbalan yang bukan
saja jumlahnya lebih besar, akan tetapi juga lebih adil. Dikatakan wajar sebab
ada kaitannya dengan berbagai segi kehidupan kekaryaan para anggota organisasi
seperti prestasi kerja, keluhan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering
terjadi kecelakaan dalam pelaksanaan tugas dan bahkan pemogokan. Berbagai hal
tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja
anggota organisasi yang dampaknya dapat pula dipastikan akan mempengaruhi
produktivitas organisasi secara keseluruhan.
Braid,
sebagaimana dikutip Timpe, mengemukakan bahwa: “Tidak ada satu organisasi pun
yang dapat memberi kekuatan baru kepada tenaga kerja mereka atau meningkatkan
produktivitas jika ia tidak memiliki remunerasi yang realistis”. Dengan
demikian terdapat keterkaitan antara kebijaksanaan remunerasi yang diterapkan
organisasi kepada para anggotanya dengan motivasi kerja mereka, yang pada
gilirannya akan berdampak pada tingkat produktivitas kerja mereka. Dalam kaitan
ini,
Dessler (1997:89) mengemukakan, bahwa :
Kebijakan
kompensasi juga ditemukan memiliki efek yang dapat diukur pada sikap-sikap dan
perilaku di tempat kerja. Tidak mengherankan, para pekerja yang menerima upah
tinggi, berkemungkinan kecil untuk keluar, lebih puas dengan upah mereka, dan
melaporkan bahwa mereka bekerja lebih keras daripada seharusnya.
Agar
dapat menguji efektivitas suatu remunerasi atau memastikan bahwa suatu remunerasi
di suatu organisasi efektif, maka menurut Patten, seperti yang dikutip oleh
Lako (2005:15), menyatakan bahwa agar suatu remunerasi di suatu organisasi
efektif, maka ada 6 (enam) kriteria yang harus dipenuhi, antara lain:
1.
Mencukupi, artinya sistem kompensasi
tersebut harus memenuhi ketentuan minimum pemerintah, serikat pekerja dan
peringkat manajemen.
2.
Adil, artinya setiap orang yang diberi
kompensasi hendaknya sesuai atau selaras dengan jumlah usaha, kemampuan dan
pelatihan yang dicurahkan.
3.
Seimbang, artinya jumlah gaji, tunjangan,
bonus dan lainnya harus seimbang.
4.
Efektif dari sisi pembiayaan, artinya gaji
yang diberikan harus sepadan dengan motivasi finansial organisasi.
5.
Dapat memotivasi orang untuk bekerja lebih
efektif dan meningkatkan produktivitasnya.
6.
Dapat dipahami oleh para eksekutif dan
karyawan.
Sedangkan
Merchant, yang dikutip oleh Lako (2005:16), mengatakan bahwa suatu kompensasi
yang layak harus dapat dievaluasi dan memenuhi kriteria-kriteria sebagai
berikut:
1. Harus
dapat dinilai dengan tolak ukur yang relevan, jelas, akurat, valid, netral dan
handal, serta dapat diterima oleh semua pihak.
2. Harus
dapat memberikan dampak yang positif terhadap perubahan perilaku atau motivasi
para eksekutif dan karyawan.
3. Harus
dapat dipahami, artinya para karyawan harus dapat memahami alasan-alasan
pemberian reward tersebut dengan besarnya nilai reward yang mereka terima.
4. Harus
diberikan tepat waktu, yaitu reward harus diberikan segera setelah kelayakan
kinerja organisasi dan karyawan dinilai atau berdasarkan kesepakatan bersama
yang telah ditetapkan.
5. Pengaruh
reward harus bertahan lama. Artinya, reward harus memiliki nilai lebih besar
jika perasaan senang yang didorong oleh jaminan reward adalah untuk jangka
panjang, yaitu jika karyawan mampu mengingatnya.
6. Harus
dapat direvisi atau diperbaharui kembali, karena para pengevaluasi atau penilai
kinerja sering membuat kesalahan dalam melakukan penilaiannya.
7. Harus
mencerminkan costs efficient, artinya dengan biaya yang minimal atau seefisien
mungkin, karyawan akan semakin termotivasi dan berprestasi.
Mengembangkan
dan menyelenggarakan program remunerasi yang efektif adalah kegiatan rumit dan
sangat khusus. Akan tetapi setiap pimpinan harus memahami dasar-dasar remunerasi`
yang sehat. Hal itu akan menempatkannya dalam kedudukan yang lebih baik untuk
mengkaji akibat yang kurang menguntungkan dari program yang tidak mencukupi atas
kemampuannya untuk memperbaiki performa pekerjaan.
Braid,
yang dikutip Timpe (2005:67-68) menyatakan bahwa program kompensasi yang baik
mempunyai 3 (tiga) ciri penting, yaitu:
1.
Bersaing
Tingkat
gaji dan manfaat harus cukup tinggi agar menarik orang yang kompeten. Kemampuan
mempekerjakan pegawai yang memenuhi kualifikasi adalah sangat kritis bagi
keberhasilan setiap organisasi.
2.
Rasional
Gaji
pegawai individual harus sebanding dengan performa yang terukur dari pekerjaan
dan dapat diperbandingkan dengan gaji di organisasi lain untuk pekerjaan
serupa. Analisis pekerjaan sangat kritis bagi program kompensasi yang rasional,
dan terdiri dari penjelasan pekerjaan dan pengkajian pekerjaan. Penjelasan
pekerjaan menerangkan mengapa suatu pekerjaan itu ada. Ia menjelaskan tugas
spesifik, kewajiban dan tanggungjawab pekerjaan. Ia juga mengidentifikasikan
kondisi kerja, peralatan yang dipakai dan hubungan dengan kedudukan lain dalam
organisasi. Pengkajian pekerjaan adalah pendekatan sistematis untuk menentukan
nilai relatif pekerjaan di dalam organisasi. Ia adalah usaha untuk memantapkan
gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama.
3.
Berlandaskan
performa
Supaya
efektif, program kompensasi harus dapat membangkitkan dan memberi penghargaan
bagi performa yang meningkat. Secara ideal, peningkatan gaji harus mengakui
kontribusi pegawai kepada organisasi belum lama berselang.
Hasibuan
(2008:123-124) mengemukakan bahwa sistem pembayaran kompensasi yang umum
diterapkan adalah:
1. Sistem
waktu, dimana besarnya kompensasi (gaji, upah) ditetapkan berdasarkan standar
waktu seperti jam, minggu, atau bulan.
2. Sistem
hasil (output), dimana besarnya kompensasi/upah/remunerasi ditetapkan atas
kesatuan unit yang dihasilkan pekerja, seperti per potong, meter, liter, dan
kilogram.
3. Sistem
borongan, adalah suatu cara pengupahan yang penetapan besarnya jasa didasarkan
atas volume pekerjaan dan lama mengerjakannya. Penetapan besarnya balas jasa
berdasarkan sistem borongan cukup rumit, lama mengerjakannya, serta banyak alat
yang diperlukan untuk menyelesaikannya.
Remunerasi
yang berlaku pada pegawai negeri sipil adalah gaji dengan sistem gabungan yaitu
gaji pokok yang ditetapkan berdasarkan pangkat dan masa kerja, tanpa
memperhatikan sifat pekerjaan dan tanggung jawab serta tunjangan jabatan yang
ditetapkan berdasarkan jenjang jabatan. Disamping gaji pokok, pegawai juga
menerima tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan pajak, tunjangan
khusus, dan honorarium. Selain gaji, pegawai juga memperoleh imbalan tidak langsung,
yaitu iuran asuransi kesehatan (2% penghasilan) dan iuran untuk dana pensiun
(belum ditetapkan karena sistem pendanaan pensiun masih menggunakan pendekatan pay-as-you-go).
Untuk mempercepat terwujudnya pegawai yang profesional, produktif, akuntabel,
diperlukan adanya perubahan total terhadap sistem remunerasi yang berlaku.
Bunyi
pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) tersebut secara eksplisit mengamanatkan bahwa
sistem remunerasi pegawai negeri harus berdasarkan pada ”merit”. Prinsip utama
dari sistem remunerasi berbasis merit, menetapkan bahwa besarnya remunerasi
pegawai harus terkait dengan bobot pekerjaan (job value) masing-masing. Bobot
atau nilai jabatan diperoleh atau ditetapkan melalui proses yang disebut dengan
evaluasi jabatan.
Apa yang disebut dengan evaluasi jabatan pada dasarnya adalah
sebuah proses dalam konteks manajemen sumber daya manusia yang dilakukan untuk
menetapkan nilai (bobot) jabatan (job value). Kegiatan evaluasi jabatan harus
dilakukan menggunakan metode yang tepat oleh sebuah tim evaluasi yang terlatih
dalam melakukannya.
Sebelum
tanggal 1 Juli 2007, Sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977. Gaji PNS/ASN masih rata/sama, diberikan
kepada setiap pegawai dengan besarannya terkait dengan pangkat/golongan dan
jabatan. Semakin tinggi pangkat/golongan dan jabatan seorang pegawai, maka
semakin besar nilai yang akan diterima. Komponen gaji yang dibayarkan terdiri:
a. Gaji
Pokok, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan
Ketujuh Belas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 mengenai gaji
pegawai negeri sipil masih berlaku hingga 2018 tentang Pengaturan Gaji Pegawai
Negeri Sipil (PNS).
b. Tunjangan
Isteri/Suami, sebesar 10% dan tunjangan anak masing-masing 2% maksimal 2 (dua)
orang anak.
c. Tunjangan
Umum atau Tunjangan Jabatan
d. Tunjangan
Beras
e. Tunjangan
Pajak Penghasilan
Job
satisfaction has many dimensions, can represent the overall attitude and refer
to the work of a person
Menentukan Standar Kepuasan Kerja Yang Ideal
Konsep
kepuasan kerja mempunyai definisi yang berbeda-beda jika dilihat dari pendapat
para ahli.
Robbins
(2008:16) mendefinisikan, bahwa: ”Kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum
seorang individu terhadap pekerjaannya”.
Porter
(1991:135) mengemukakan, bahwa: ”Kepuasan kerja merupakan selisih dari sesuatu
yang seharusnya ada (harapan) dengan yang sesungguhnya (kenyataan)”.
Davis
(1996:12) mengatakan, bahwa: “Kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan
pegawai tentang menyenangkan atau tidak menyenangkannya pekerjaan mereka”.
Schermerhon
dan Osborn (1995:74) berpendapat, bahwa: “Kepuasan kerja adalah suatu tingkatan
perasaan yang positif atau negatif tentang beberapa aspek dari pekerjaan,
situasi kerja, dan hubungan dengan rekan sekerja”.
Gibson
dan kawan-kawan (1992:16) menyatakan kepuasan kerja sebagai berikut:
Kepuasan
kerja tergantung dari tingkat perolehan intrinsik dan ekstrinsik dan pandangan
pekerja terhadap perolehan tersebut. Tingkat perolehan mempunyai nilai yang
berbeda-beda bagi tiap orang. Pekerjaan yang penuh tanggung jawab dan menantang
bagi orang tertentu mungkin menghasilkan perolehan yang biasa atau bahkan
negatif. Bagi orang lain, perolehan semacam itu mungkin mempunyai nilai
positif. Orang mempunyai nilai yang berbeda-beda yang mereka kaitkan pada
perolehan pekerjaan dan perbedaan tersebut akan menimbulkan tingkat kepuasan
kerja pula.
Lebih
lanjut, Gibson (1994:33) mengemukakan, bahwa: “Kepuasan dan semangat kerja
adalah istilah yang serupa yang menunjukkan sampai seberapa jauh organisasi
memenuhi kebutuhan para pegawainya. Ukuran kepuasan meliputi sikap pegawai,
pergantian, kemungkinan keterlambatan dan keluhan”.
Handoko
dan Asa’ad, yang dikutip Umar (2006:92) menjelaskan, bahwa: ”Kepuasan kerja
merupakan penilaian atau cerminan dari perasaan pekerjaan terhadap pekerjaannya”.
Viteles,
yang dikutip Dunnette (1993:133), membedakan hubungan konsep kepuasan kerja
dengan konsep moral dan keterlibatan kerja. Moral dan kepuasan berkaitan dengan
keadaan emosional positif yang mungkin dialami oleh pekerja. Viteles menekankan
konsep ini pada dua hal, yaitu:
1. Moral
lebih berorientasi pada masa depan, sedangkan kepuasan lebih berorientasi ke
masa sekarang dan masa lampau
2. Moral
sering merupakan suatu referensi kelompok yaitu berdasarkan pada keyakinan
bahwa tujuan kelompok dapat dicapai dan selaras dengan tujuan individu,
sedangkan kepuasan tergantung pada penilaian yang dibuat oleh individu itu
sendiri dari situasi pekerjaannya.
Selanjutnya pendapat
Siegel dan Lane (1997:125) menyatakan sebagai berikut:
Kepuasan kerja adalah
cara seseorang merasakan pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan generalisasi
sikap pekerja terhadap pekerjaannya yang memiliki berbagai aspek. Sikap
seseorang terhadap pekerjaannya mencerminkan pengalaman yang menyenangkan atau
tidak menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapan-harapannya di masa depan.
Jewell & Siegall
(1998:46) membagi teori kepuasan kerja yang berkaitan dengan teori motivasi
antara lain:
1. Teori
dua faktor atau motivator higiene yang dikemukakan oleh Herzberg, Mausner &
Snyderman, memandang bahwa kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator
intrinsik (meliputi pencapaian prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan,
pekerjaan itu sendiri dan kemungkinan berkembang), dan ketidak-puasan kerja
berasal dari ketidak-beradaan faktor-faktor ekstrinsik (meliputi upah, keamanan
kerja, kondisi kerja, status, prosedur organisasi, mutu penyeliaan, mutu
hubungan interpersonal antar sesama rekan kerja, atasan dan bawahan).
Berdasarkan temuan empiris, teori ini kurang mendapat dukungan dari para ahli
yang menganggap instrumen penelitian yang digunakan kurang tajam.
2. Teori
Model Aspek Kepuasan (satisfaction speet model) oleh Lawler, dimana individu
dipuaskan dengan suatu aspek khusus dari pekerjaan mereka, misalnya rekan
kerja, atasan, upah dan sebagainya. Jika jumlah aspek yang mereka alami adalah
yang seharusnya mereka peroleh karena telah melaksanakan pekerjaannya sama
dengan jumlah yang benar-benar mereka peroleh. Selain itu, kalau orang itu
menerima jumlah yang lebih besar daripada yang pantas diperoleh mereka pantas
merasa bersalah dan jika kurang dari yang pantas diperoleh maka mereka merasa
tidak puas. Implikasi teori ini adalah seseorang akan menyesuaikan
kontribusinya sesuai dengan tingkat keadilan/kepuasan yang diperolehnya. Teori
ini sedikit memberi dukungan empiris berdasarkan pendapat para ahli.
3. Teori
Nilai (value theory) oleh Locke, membuat pemilihan antara nilai dan kebutuhan
orang sering memberi nilai pada hal-hal yang sebetulnya tidak ia butuhkan, akan
tetapi bisa juga terjadi sebaliknya dimana ia membutuhkan hal-hal yang
sebenarnya tidak ia hargai. Kebutuhan adalah kondisi kodrati yang diperlukan
individu demi kesejahteraan fisiologik maupun psikologiknya. Sedangkan nilai
merupakan sesuatu yang diinginkan atau didambakan muncul dari proses belajar
dan bukan secara alami. Karena itu, kepuasan kerja adalah keadaan emosional
akibat anggapan bahwa individu mendapatkan apa yang dinilai tinggi. Teori ini
berdasarkan pengalaman penelitian tidak cukup mendapat bukti.
4. Teori
proses lawan (opponent process theory) oleh Landy, yang menekankan kepuasan
atau ketidakpuasan lebih pada usaha untuk mempertahankan keseimbangan
emosional. Seseorang merasa puas sangat ditentukan oleh sejauhmana penghayatan
emosionalnya terhadap situasi yang dihadapinya. Bila situasi tersebut
memberikan keseimbangan emosional bagi dirinya maka orang tersebut merasa puas,
sebaliknya jika situasi tersebut menimbulkan ketidak-stabilan emosional maka
orang tersebut merasa tidak puas. Pengalaman membuktikan bahwa tidak cukup
penelitian yang mendukung teori ini.
5. Teori
kesenjangan (discrepancy theory) oleh Porter, seperti yang dikemukakan Reiner
& Kenichi, yang mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah selisih dari sesuatu
yang seharusnya ada (harapan) dengan yang sesuatu yang sesungguhnya ada
(kenyataan). Locke juga berpendapat bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung
pada kesenjangan antara apa yang seharusnya (harapan, kebutuhan atau nilai)
dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh melalui pekerjaannya.
Seseorang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara apa yang diinginkan
dengan persepsinya atas kenyataan karena batas minimum yang diinginkan telah
terpenuhi. Bila yang diperoleh ternyata lebih besar daripada yang diinginkan,
maka orang akan menjadi lebih puas walaupun terjadi kesenjangan, karena yang
terjadi adalah kesenjangan positif. Sebaliknya, makin jauh kenyataan yang
dirasakan itu dan di bawah standar minimum sehingga menjadi kesenjangan negatif
maka makin besar pula ketidak-puasan seseorang terhadap pekerjaannya. Teori ini
sedikit mendapat dukungan empiris dari para ahli.
6. Teori
instrumentalia (instrumentalia theory) dikemukakan oleh Porter & Lawler,
yang menyatakan bahwa kepuasan bergantung pada kecocokan antara penghargaan
yang diharapkan dengan penghargaan yang diterima. Penelitian menunjukkan
sedikit bukti yang mendukung teori ini.
Teori-teori
kepuasan kerja umumnya berhubungan erat dengan teori-teori motivasi Kreiner dan
Kenichi (1992:119) yang membagi teori-teori yang menentukan kepuasan kerja,
antara lain berdasarkan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Teori
pemenuhan kebutuhan (need fullfilment), yakni makin banyak kebutuhan-kebutuhan
yang terpenuhi oleh lingkungan pekerjaan maka makin tinggi derajat kepuasan
kerjanya.
2. Teori
kesenjangan (discrepancies), menyatakan bahwa kepuasan kerja seseorang
bergantung pada kesenjangan antara apa yang seharusnya (harapan, kebutuhan atau
nilai) dengan apa yang menurut perasaannya telah diperoleh melalui
pekerjaannya.
3. Teori
pencapaian nilai (vallue attainment), yaitu mirip dengan teori kesenjangan,
akan tetapi yang menjadi titik sentral adalah nilai atau value yang dianut
individunya.
4. Teori
kesamaan (equity), dimana kepuasan dilihat dari perbandingan antara dirinya
dengan rekan sekerja.
5. Teori
komponen genetik (genetic component), menyatakan bahwa sebagian kepuasan kerja
merupakan fungsi dari genetik.
Kepuasan
kerja merupakan keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan
dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Dengan demikian kepuasan
kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini nampak dalam
sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di
lingkungan kerjanya. Departemen personalia atau manajemen harus senantiasa
memonitor kepuasan kerja, karena hal itu mempengaruhi tingkat absensi,
perputaran tenaga kerja, semangat kerja, keluhan-keluhan dan masalah-masalah
personalia vital lainnya.
Tolok
ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada, karena setiap individu karyawan
berbeda standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja ini hanya diukur dengan
kedisiplinan, moral kerja, dan pergantian (turn over) kecil, maka secara
relatif kepuasan kerja karyawan baik, tetapi sebaliknya jika kedisiplinan,
moral kerja dan turn over karyawan besar, maka kepuasan kerja karyawan di suatu
organisasi akan berkurang.
Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya
kepuasan kerja menyangkut sikap dan penilaian positif atau negatif seseorang
atas hasil pekerjaannya dan merupakan selisih dari sesuatu yang seharusnya ada
(harapan) dengan yang sesungguhnya ada (kenyataan).
Kepuasan
kerja memiliki banyak dimensi, dapat mewakili sikap secara keseluruhan dan
mengacu pada bagian pekerjaan seseorang. Studi kepuasan kerja seringkali
terfokus pada hal-hal tersebut dan memilahnya menjadi hal-hal yang langsung
berkaitan dengan isi pekerjaan dan konteks pekerjaan.
Locke,
yang dikutip Robbins (2006:192), membagi dimensi-dimensi atau faktor-faktor
yang mendorong kepuasan kerja, antara lain:
1. Pekerjaan
yang menantang, dimana pekerja cenderung menyukai pekerjaan yang memberikan
kesempatan untuk memanfaatkan ketrampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan
keanekaragaman tugas, kebebasan dan umpan balik tentang sejauhmana baiknya
pekerjaan yang mereka lakukan. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan,
namun terlalu banyak tantangan malah dapat menciptakan frustasi dan perasaan
gagal. Kebanyakan karyawan akan merasa senang dan puas jika tantangan pekerjaan
mereka tingkatnya sedang.
2. Imbalan
yang adil, dimana pekerja cenderung menginginkan sistem penggajian dan
kebijakan-kebijakan yang adil, tidak berambisi, serta sejalan dengan
harapannya. Kepuasan kerja akan tercapai jika penggajian sesuai dengan tuntutan
tugas, tingkat ketrampilan individu dan standar pembayaran umum. Akan tetapi
tidak semua orang hanya bekerja untuk mengejar uang. Banyak yang bersedia
memperoleh gaji sedikit asalkan bekerja dalam lokasi yang diinginkan atau dalam
pekerjaan yang kurang banyak tuntutan ataupun yang mempunyai keleluasaan yang
lebih besar dalam pekerjaannya. Hal penting dalam menghubungkan antara gaji dan
kepuasan bukanlah pada jumlah mutlak yang dibayarkan akan tetapi pada persepsi
keadilan dalam penggajian.
3. Kondisi
kerja yang mendukung, dimana penelitian membuktikan bahwa pekerja lebih
menyukai dan merasa puas antara lain dengan lingkungan fisik yang nyaman dan
tidak berbahaya, suhu udara, penerangan atau kebisingan yang tidak terlalu
ekstrim, tempat kerja yang dekat dengan rumah, ruangan bersih dengan fasilitas
relatif modern dan peralatan dan perlengkapan kerja yang sesuai.
4. Rekan
kerja yang mendukung, dimana bagi sebagian pekerja melakukan pekerjaan juga
sekaligus memenuhi kebutuhan mereka terhadap interaksi sosial. Pekerja lebih
puas bila mempunyai rekan kerja yang menyenangkan, saling mendukung mempunyai
supervisor yang penuh perhatian, bersahabat, menghargai hasil kerja,
mendengarkan pendapat pekerja dan menunjukkan minat pribadi terhadap
bawahannya. Atasan yang lebih disenangi pekerja adalah atasan yang penuh
perhatian, suportif, hangat, berorientasi pada pekerja dan bukannya bermusuhan.
5. Kesesuaian
antara pribadi pekerjaan, yaitu kesesuaian antara kepribadian pekerja dengan
pekerjaan akan membuat kepuasan kerja tinggi pada pekerja. Orang-orang yang
tipe kepribadiannya kongruen dengan pekerjaan yang telah mereka pilih umumnya
punya bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan atas pekerjaan
mereka sehingga mereka kemungkinan besar akan berhasil pada pekerjaan tersebut
dan dengan demikian mencapai kepuasan kerja yang tinggi pula.
Luthans
(1992:19) membagi dimensi-dimensi pekerjaan yang berhubungan dengan kepuasan
kerja, yaitu: “Imbalan, pekerjaan itu sendiri, promosi, supervisi, kelompok
kerja dan kondisi kerja”.
Gilmer
(1985:98) menyatakan, bahwa ada sepuluh dimensi yang berpengaruh terhadap
kepuasan kerja, yakni:
1.
Keamanan
2.
Kesempatan untuk maju
3.
Organisasi dan manajemen
4.
Upah
5.
Aspek intrinsik dari pekerjaan
6.
Supervisi
7.
Aspek sosial dari pekerjaan
8.
Komunikasi
9.
Kondisi kerja dan
10.
Benefit.
Locke,
yang dikutip oleh Dunnette (1993:76), membagi sembilan dimensi kerja yang
merupakan pengembangan dari Locke sebelumnya dan mempunyai kontribusi terhadap
kepuasan kerja, sebagai berikut:
1. Pekerjaan,
termasuk minat intrinsik, variasi tugas, kesempatan belajar, kesulitan kerja,
jumlah kerja, kesempatan untuk berhasil, kontrol terhadap langkah-langkah
pekerjaan dan metode pekerjaan.
2. Pembayaran,
termasuk jumlah pembayaran, keadilan pembayaran dan cara pembayarannya.
3. Promosi,
termasuk keadilan mendapatkan promosi dan kesempatan mendapat promosi.
4. Pengakuan,
termasuk penghargaan terhadap presasi, kepercayaan atas tugas yang diberikan
dan kritik-kritik atas tugas yang dikerjakan.
5. Benefit,
termasuk memperoleh pensiun, mendapat kesehatan, adanya cuti tahunan dan adanya
pembayaran pada saat liburan.
6. Kondisi
kerja, termasuk jam kerja, jam istirahat, peralatan kerja, temperatur di lokasi
kerja, ventilasi, kelembaban, lokasi dan tata ruang kerja.
7. Supervisi,
termasuk gaya dan pengaruh supervisi, hubungan manusia dan ketrampilan
administratif.
8. Rekan
kerja, termasuk kompetensi, saling membantu dan keramahan antar rekan kerja.
9. Organisasi
dan manajemen, termasuk kebijakan akan perhatian terhadap pekerja, baik untuk
pembayaran ataupun benefit-benefit.
Berdasarkan
uraian di atas, terlihat ada tujuh dimensi yang sama yang dipergunakan para
ahli dalam mengungkapkan dimensi-dimensi yang mempengaruhi kepuasan kerja yakni
berdasarkan pendapat Locke, Luthans dan Gilmer. Aspek-aspek ini paling sering
muncul dalam penelitian yang berhubungan dengan kepuasan kerja sehingga dapat
disimpulkan bahwa aspek-aspek tersebut dianggap paling mewakili kepuasan kerja
yang diinginkan, yaitu:
1. Pekerjaan
itu sendiri
2. Promosi
3. Pembayaran
4. Supervisi
5. Rekan
kerja
6. Kondisi
kerja
7. Organisasi
dan manajemen.
Apabila
dibandingkan dengan dimensi-dimensi yang diberikan Locke, dimensi pekerjaan itu
sendiri, pembayaran, rekan kerja dan kondisi kerja dalam penelitian ini sama
dengan dimensi Locke yakni pekerjaan itu sendiri, imbalan, yang adil, rekan
kerja yang mendukung dan kondisi kerja yang menantang.
Rivai
(2007:245) mengemukakan, bahwa faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk
mengukur kepuasan kerja seorang karyawan adalah:
1. Isi
pekerjaan, penampilan tugas pekerjaan yang aktual dan sebagai kontrol terhadap
pekerjaan
2. Supervisi
3. Organisasi
dan manajemen
4. Kesempatan
untuk maju
5. Gaji
dan keuntungan dalam bidang finansial
lainnya
6. Rekan
kerja
7. Kondisi
pekerjaan.
Itulah artikel yang Abah Opar posting kali ini tentang Pengaruh Lingkungan Kerja dan Remunerasi Terhadap Kepuasan Kerja semoga dapat bermanfaat untuk kita semua minimal sebagai knowledge bagi kita lantas dalam menyikapi atau menyimpulkannya suka-suka kita yang penting dapat dipertanggungjawabkan serta memiliki nilai keutamaan dalam kehidupan. Selanjutnya silahkan baca juga khusus untuk anda artikel tentang: Kebhinekaan Masyarakat Indonesia dan Dinamika Kehidupan Global - terima
kasih sudah berkunjung semoga mendapatkan apa yang saudaraku cari di website Abah
Opar.
Related Post : 10 Teori Kriminologi Korupsi