Dalam pembahasan kali ini kita menelisik lebih dalam terhadap penggunaan sebuah Model Pembelajaran Cooperatif Tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD), tentunya model pembelajaran ini sangat unik dan tidak asing lagi untuk kalangan pendidik dan perlu kiranya para Guru untuk mencobanya dalam kegiatan pembelajaran pastinya mengasyikan.
Ok... tanpa basa-basi Abah sedikit menjelaskan mulai dari Hakikat Pembelajaran Cooperatif kemudian Hakikat Pembelajan Cooperatif Tipe Student Team Achievement Divisions (STAD) berikut ini.
Hakikat Pembelajaran Cooperatif
Hakekat pembelajaran kooperatif, terletak pada keterlibatan peserta didik dan pengamat dalam situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Melalui pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran, diharapkan siswa mampu mengeksplorasikan perasaannya, memperoleh wawasan tentang sikap dan persepsinya, mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi, serta mengeksplorasikan inti permasalahan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya melalui berbagai cara.
Pembelajaran Kooperatif dikembangkan berdasarkan teori belajar kognitif konstruktivis dan teori belajar sosial Vygotsky. Metode Pembelajaran Kooperatif, tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa melainkan mengajarkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, keterampilan intelektual, dan belajar berbagai peran orang dewasa dengan terlibat dalam pengalaman nyata/simulasi. Bahkan pembelajaran kooperatif menekankan pada saling ketergantungan positif antara peserta didik. Dengan kata lain keberhasilan belajar yang dilakukan siswa karena dorongan dan bantuan orang lain. Hal inilah yang membedakan pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran yang kompetitif yang memiliki saling ketergantungan negatif.
Pembelajaran kooperatif menurut Egge,dkk., pada tahun 1993 dalam buku Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohamad, mengemukakan bahwa sekumpulan strategi mengajar yang digunakan guru agar saling membantu dalam mempelajari sesuatu[1].
Menurut Lukmanul Hakim metode Cooperative learning adalah: Pembelajaran aktif yang menekankan aktivitas siswa bersama-sama secara berkelompok dan tidak individualistik. Siswa secara berkelompok mengembangkan kecakapan hidupnya, seperti menemukan dan memecahkan masalah, pengambilan keputusan, berfikir logis, berkomunikasi efektif dan bekerja sama[2].
Senada dengan pengertian teresebut, Made Wena menekankan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran kelompok yang memiliki aturan-aturan tertentu. Prinsip dasar pembelajaran kooperatif adalah siswa membentuk kelompok kecil dan saling mengajar sesamanya untuk mencapai tujuan bersama[3].
Sebagai suatu lembaga resmi yang bergerak dibidang pendidikan, Depdiknas dalam Lukmanul Hakim menjelaskan bahwa:
Aspek-aspek esensial yang terdapat dalam pembelajaran kooperatif adalah: (1) saling bergantung satu sama lain secara positif (positive interdependence), (2) saling berinteraksi langsung antar anggota dalam kelompok (face-to-face interaction),(3) akuntabilitas individu atas pembelajaran diri sendiri (individual accountability),(4) Keterampilan sosial (cooperative sosial skills), (5) pemosresan kelompok (group processing).[4]
Senada dengan hal di atas, beberapa pendapat para ahli dari luar turut mendukung perkembangan dari pengertian pembelajaran kooperatif, seperti pendapat Johnson and Johnson dalam Mulyono Abdurahman menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu pembelajaran berkelompok yang dapat memberikan hasil yang positif terhadap perkembangan anak[5].
Pembelajaran kooperatif merupakan suatu pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok dimana siswa belajar untuk bisa bersosialisasi dengan sesamanya, dan beruasaha menyatukan pendapat dengan segala perbedaan yang ada.Sejalan dengan prosesnya, pembelajaran kooperatif memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri yang harus diperhatikan oleh seorang guru ketika mengajar.
Metode Cooperative learningdapat digunakan untuk mengajar materi yang agak kompleks (Dimensi akademik) juga dapat membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berdimensi sosial dan hubungan antar manusia.[6]
Berbagai hasil penelitian menyimpulkan manfaat Cooperative learning. Robert E. Slavin dan Nancy A. Madden, dalam hasil penelitian tentang "School Practices That improve Race Relations" yang dimuat pada American Educational Research Journal menyatakan: dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain[7].
Cooperative learning dalam pembelajaran menghasilkan prestasi akademik yang lebih tinggi untuk seluruh siswa, kemampuan lebih baik untuk melakukan hubungan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, serta mampu mengembangkan saling kepercayaan sesamanya, baik secara individual maupun kelompok. Secara lebih terperinci hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa bukannya pelatihan guru, buku-buku civics, sejarah, dan diskusi-diskusi di kelas yang mempengaruhi sikap dan perilaku sosial siswa, melainkan tugas-tugas yang diberikan secara kelompok yang secara meyakinkan telah berhasil mengembangkan hubungan, sikap dan perilaku sosial siswa.
Dengan kata lain, apabila guru melaksanakan proses belajar mengajar dengan mempergunakan Cooperative Learning, berarti guru tersebut sudah berperan dalam mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud output pada level individual. Di samping itu, berkembangnya kesetiakawanan dan solidaritas sosial di kalangan siswa pada gilirannya akan dapat mengurangi ketimpangan dalam ujud input pada level individual. Demikian pula dapat diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang di samping memiliki prestasi akademik yang cemerlang, juga memiliki kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang kuat.
Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan suatu strategi pembelajaran yang memiliki pola tertentu dimana siswa belajar dan bekerja dalam terdiri dari orang dua orang atau lebih dalam struktur kerjasama yang teratur.
Cooperative Learning juga memandang bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru melainkan juga dari pihak lain yang terlibat dalam pembelajaran itu, yakni rekan sebaya ( Peer Teaching ) bagi anak tertentu, pengajaran oleh rekan sebaya terkadang lebih efektif daripada pengajaran oleh guru, terutama untuk anak yang kurang memiliki keberanian berbicara dimuka umum atau sulit mengajukan pertanyaan maupun pendapat terhadap guru. Keberhasilan belajar dalam Coorporative Learning bukan semata ditentukan oleh kemampua individu secara utuh, melainkan perolehan itu akan baik bila dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok kecil yang terstruktur dengan baik.
Dalam Coorporative Learning terdapat lima unsur yang harus diterapkan, antara lain :
a. Saling ketergantungan positif, yaitu sifat yang menunjukan saling ketergantungan satu terhadap yang lain di dalam kelompok secara positif. Keberhasilan kelompok karena setiap anggota dianggap memiliki kontribusi.
b. Tanggung jawab perseorangan, artinya bahwa setiap individu di dalam kelompok mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh kelompok, sehingga keberhasilan kelompok sangat ditentukan oleh tanggung jawab setiap anggota.
c. Tatap muka, artinya bahwa setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Hasil pemikiran beberapa kepala dalam diskusi akan lebih baik hasilnya dibanding pemikiran satu kepala / perorangan. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing anggota kelompok.
d. Komunikasi antar anggota. Dalam berdiskusi atau bekerjasama diperlukan adanya komunikasi antar anggota. Keberhasilan suatu kelompok bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat.
e. Proses kelompok, merupakan proses perolehan jawaban permasalahan yang dikerjakan oleh kelompok secara bersama-sama.
Langkah-langkah Metode Cooperative learning umumnya menempuh langkah sebagai berikut :
a. Menyampaikan tujuan dan memotivasi peserta didik, pada tahap ini kegiatan yang ditempuh adalah Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi peserta didik belajar.
b. Menyajikan Informasi, Guru menyajikan informasi kepada peserta didik dengan jalan demontrasi atau lewat bacaan.
c. Mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok belajar. Guru menjelaskan kepada peserta didik bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien susunan / cara duduk peserta didik selalu berkelompok, berhadap-hadapan.
d. Membimbing kelompok bekerja dan belajar, tahap ini guru membimbing kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.
e. Evaluasi, pada tahap evaluasi, guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
f. Memberikan penghargaan, tugas yang dilakukan guru adalah mencari cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar individu maupun kelompok.
Untuk menumbuhkan motivasi kepada peserta didik dapat dilakukan pengulangan informasi, memberikan stimulus baru misalnya melalui pertanyaan. Sehingga setiap individu akan terdorong melakukan sesuatu bila merasakan ada kebutuhan. Kebutuhan ini yang menimbulkan ketidakseimbangan, rasa ketegangan yang menuntut kepuasan supaya kembali pada keadaan seimbang. Ketidakseimbangan disebabkan rasa tidak puas dan bila kebutuhan itu telah terpenuhi dan terpuaskan aktivitas menjadi berkurang sampai muncul lagi kebutuhan-kebutuhan baru.
Clifford T. Morgan memandang bahwa anak (individu) memiliki kebutuhan :
1) untuk berbuat sesuatu demi kegiatan itu sendiri,
2) untuk menyenangkan hati orang lain,
3) untuk berprestasi atau mencapai hasil
Pendapat di atas bila dianalisa memandang bahwa setiap anak sebagai individu pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk berbuat sesuatu bagi diri sendiri bahkan ingin menyenangkan orang lain dan mencapai prestasi tertentu serta kebutuhan untuk mengatasi kesulitan.
Dari uraian di atas, dapat disintesiskan bahwa model pembelajaran Cooperative Learning adalah pembelajaran dengan menggunakan kelompok kecil sehingga para siswa dapat saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Dalam Cooperative Learning siswa diberikan dua tanggung jawab yakni untuk mempelajari materi yang telah ditugaskan secara individu dan untuk memastikan bahwa semua anggota kelompok yang lain melakukan hal yang sama, mengembangkan diri, dan bertanggung jawab secara individu.
Hakikat Pembelajan Cooperatif Tipe Student Team Achievement Divisions (STAD)
Pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD) yang dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin (dalam Slavin, 1995) merupakan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan pembelajaran kooperatif yang cocok digunakan oleh guru yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif.
Student Team Achievement Divisions (STAD) adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang merupakan campuran menurut tingkat kinerjanya, jenis kelamin dan suku. Guru menyajikan pelajaran kemudian siswa bekerja dalam tim untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya seluruh siswa dikenai kuis tentang materi itu dengan catatan, saat kuis mereka tidak boleh saling membantu.
Model Pembelajaran Koperatif tipe STAD merupakan pendekatan Cooperative Learning yang menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Guru yang menggunakan STAD mengajukan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu mengunakan presentasi Verbal atau teks.
1) Tahap Pelaksanaan Pembelajaran Model STAD.
Sebelum menyajikan guru harus mempersiapkan lembar kegiatan dan lembar jawaban yang akan dipelajarai siswa dalam kelompok-kelomok kooperatif. Kemudian menetapkan siswa dalam kelompok heterogen dengan jumlah maksimal 4 - 6 orang, aturan heterogenitas dapat berdasarkan pada :
a) Kemampuan akademik (pandai, sedang dan rendah)
Yang didapat dari hasil akademik (skor awal) sebelumnya. Perlu diingat pembagian itu harus diseimbangkan sehingga setiap kelompok terdiri dari siswa dengan siswa dengan tingkat prestasi seimbang.
b) Jenis kelamin, latar belakang sosial, kesenangan bawaan/sifat (pendiam dan aktif), dll.
2) Penyajian Materi Pelajaran
a) Pendahuluan
Di sini perlu ditekankan apa yang akan dipelajari siswa dalam kelompok dan menginformasikan hal yang penting untuk memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang konsep-konsep yang akan mereka pelajari. Materi pelajaran dipresentasikan oleh guru dengan menggunakan metode pembelajaran. Siswa mengikuti presentasi guru dengan seksama sebagai persiapan untuk mengikuti tes berikutnya
b) Pengembangan
Dilakukan pengembangan materi yang sesuai yang akan dipelajari siswa dalam kelompok. Di sini siswa belajar untuk memahami makna bukan hafalan. Pertanyaan-peranyaan diberikan penjelasan tentang benar atau salah. Jika siswa telah memahami konsep maka dapat beralih kekonsep lain.
c) Praktek terkendali
Praktek terkendali dilakukan dalam menyajikan materi dengan cara menyuruh siswa mengerjakan soal, memanggil siswa secara acak untuk menjawab atau menyelesaikan masalah agar siswa selalu siap dan dalam memberikan tugas jangan menyita waktu lama.
d) Kegiatan kelompok
Guru membagikan LKS kepada setiap kelompok sebagai bahan yang akan dipelajari siswa. Isi dari LKS selain materi pelajaran juga digunakan untuk melatih kooperatif. Guru memberi bantuan dengan memperjelas perintah, mengulang konsep dan menjawab pertanyaan. Dalam kegiatan kelompok ini, para siswa bersama-sama mendiskusikan masalah yang dihadapi, membandingkan jawaban, atau memperbaiki miskonsepsi. Kelompok diharapkan bekerja sama dengan sebaik-baiknya dan saling membantu dalam memahami materi pelajaran.
e) Evaluasi
Dilakukan selama 45 - 60 menit secara mandiri untuk menunjukkan apa yang telah siswa pelajari selama bekerja dalam kelompok. Setelah kegiatan presentasi guru dan kegiatan kelompok, siswa diberikan tes secara individual. Dalam menjawab tes, siswa tidak diperkenankan saling membantu. Hasil evaluasi digunakan sebagai nilai perkembangan individu dan disumbangkan sebagai nilai perkembangan kelompok.
f) Penghargaan kelompok
Setiap anggota kelompok diharapkan mencapai skor tes yang tinggi karena skor ini akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan skor rata-rata kelompok. Dari hasil nilai perkembangan, maka penghargaan pada prestasi kelompok diberikan dalam tingkatan penghargaan seperti kelompok baik, hebat dan super.
g) Perhitungan ulang skor awal dan pengubahan kelompok
Satu periode penilaian (3 – 4 minggu) dilakukan perhitungan ulang skor evaluasi sebagai skor awal siswa yang baru. Kemudian dilakukan perubahan kelompok agar siswa dapat bekerja dengan teman yang lain.
Posted By : (Opar Suparma, M.Si)
Posted By : (Opar Suparma, M.Si)
Daftar Pustaka:
[1] Hamzah, dkk. Belajar dengan pendekatan PAILKEM. (Jakarta : Bumi Aksara,2011), h. 180
[2] Lukmanul, Hakim. Perencanaan Pemnelajaran.( Bandung: PT. Prahana Pruna, 2009), h.54
[3] Wena, Made.. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. (Jakarta: Bumi akasara, 2010), h.189
[4] Loc. cit
[5]Abdurahman, Mulyono. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. (Jakarta: Rineka Cipta.2008) h.104
[6] Elaine B. Johnson, PH.D. Contelstual Teaching & Learning, (Bandung : MLC,2007), h.90
[7] Ibid. h.18
[8] Ahmad Rohani, Pengelolaan Pengajaran ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004), h.12